Apa jadinya ketika puisi tak lagi bersifat linear?
Cent mille milliards de poèmes (100 Triliun Puisi), karya fenomenal Raymond Queneau (baca: ʁɛmɔ̃ kəno), menawarkan cara baru menikmati puisi, seperti menjelajahi playlist yang tak pernah habis di Spotify. Dirilis pada tahun 1961, buku ini menjadi salah satu karya sastra paling eksperimental yang pernah ada—bahkan bisa dibilang jauh mendahului zamannya.
Mengapa karya ini relevan untuk era digital? Karena Cent mille milliards de poèmes mencerminkan era kita: personalisasi, interaktivitas, dan keberagaman pilihan.
Yuk, kita ulik lebih lanjut dan bagaimana karya ini masih relevan di era digital!
100 Triliun Puisi
Pada pandangan pertama, 100 Triliun Puisi tampak seperti kumpulan 10 soneta tradisional. Namun, karya tersebut bukan sekadar kumpulan puisi, melainkan juga eksperimen matematika yang inovatif dalam dunia sastra. Melalui pendekatan kombinatorik, Queneau berhasil menggabungkan seni dan logika menjadi sebuah karya monumental yang terus menginspirasi hingga kini.
Dalam 100 Triliun Puisi, setiap baris dalam soneta dicetak pada potongan kertas terpisah, yang memungkinkan pembaca untuk mengganti baris tertentu dengan baris dari soneta lainnya di posisi yang sama. Jadi, dengan total 14 baris per soneta dan 10 pilihan baris untuk setiap posisi, buku ini memberikan kemungkinan kombinasi sebanyak 1014 = 100.000.000.000.000 (100 triliun) puisi.
Perlu 190 Juta Tahun
Jika seseorang membaca satu puisi setiap menit dan diandaikan membaca buku ini tanpa henti, dibutuhkan lebih dari 190 juta tahun untuk membaca seluruh kemungkinan kombinasi. Angka fantastis ini menjadikan buku ini sebagai salah satu bentuk awal seni generatif dan sastra modular.
Bayangkan: dengan hanya mengganti urutan baris, kamu bisa menciptakan lebih dari seratus triliun puisi unik! Ini bukan sekadar buku, tapi lebih mirip sebuah permainan sastra yang mengajak pembacanya menjadi kreator.
Queneau sendiri menggunakan prinsip matematika sederhana untuk menghitung kombinasi tersebut, terinspirasi dari cara berpikir kombinatorik. Kalau kamu pernah main gim RPG dengan karakter yang bisa dikustomisasi, konsep ini kurang lebih sama—tapi dalam bentuk puisi.
Sastra Kombinatronik: Sastra yang Bisa Diacak
Istilah sastra kombinatronik mengacu pada karya sastra yang dirancang agar pembaca bisa mengubah-ubah bagian tertentu untuk menghasilkan versi baru. Karya semacam ini tidak memiliki satu “makna” tetap, melainkan memberikan kebebasan interpretasi sesuai keinginan pembaca.
Cent Mille Milliards de Poèmes adalah contoh awal dari konsep ini, yang kemudian menjadi inspirasi bagi berbagai eksperimen sastra digital modern. Saat ini, pendekatan kombinatronik bahkan merambah dunia coding, seperti pada karya seni generatif yang dibuat dengan algoritme.
Karya Fiksi Kombinatronik
Dalam bentuknya yang lebih sederhana, sastra kombinatronik sudah muncul sebelum 100 Triliun Puisi. Namun, Queneau-lah yang mendorongnya demikian jauh hingga tahap hampir digital. Berikut beberapa contoh karya kombinatronik.
1. The Garden of Forking Paths (1941) oleh Jorge Luis Borges
Dalam cerita pendek ini, Borges memperkenalkan konsep waktu bercabang, di mana semua kemungkinan masa depan dapat terjadi secara paralel. Struktur cerita yang bercabang mencerminkan ide kombinatorik karena pembaca dapat membayangkan berbagai jalur alternatif untuk cerita yang sama.
2. Hopscotch (1963) oleh Julio Cortázar
Novel ini menawarkan dua cara membaca: linear (bab 1-56) atau melompat-lompat berdasarkan panduan dari pengarang. Pembaca dapat memilih jalur narasinya sendiri, menciptakan pengalaman membaca yang berbeda setiap kali.
3. House of Leaves (2000) oleh Mark Z. Danielewski
Novel ini menggunakan teks yang tidak konvensional, dengan halaman yang mengandung catatan kaki panjang, teks diagonal, atau hanya beberapa kata di sudut halaman. Pembaca dapat memilih untuk membaca cerita utama, catatan kaki, atau keduanya secara bersamaan, menghasilkan pengalaman yang berbeda.
4. Seri Choose Your Own Adventure (1970-an hingga 1990-an)
Seri buku ini dirancang dengan narasi bercabang, di mana pembaca memilih jalur cerita dengan mengikuti opsi di akhir setiap halaman atau bab. Pilihan pembaca menentukan akhir cerita, dengan puluhan kemungkinan akhir yang berbeda.
5. Meanwhile: Pick Any Path. 3,856 Story Possibilities (2010) oleh Jason Shiga
Ini adalah buku bergambar interaktif untuk anak-anak yang penuh teka-teki dan petualangan. Pembaca mengikuti seorang anak bernama Jimmy yang harus memilih antara tiga jalur: memakan es krim, menemukan laboratorium ilmuwan gila, atau memulai perjalanan waktu.
Apa Hubungannya dengan Era Digital?
Di era digital, personalisasi adalah segalanya. Spotify membuat mixtape unik untuk kamu, Instagram tahu preferensimu, dan AI seperti ChatGPT bisa menulis sesuai dengan gaya yang kamu inginkan.
Karya Queneau mengantisipasi tren ini dengan memberikan pengalaman membaca yang customizable. Dia seolah berkata, “Hei, pembaca, kamu bukan cuma konsumen, kamu juga pencipta!”
Milenial dan Gen Z, yang tumbuh bersama platform interaktif, pasti bisa relate dengan konsep ini. Kamu tidak lagi sekadar menyerap konten, tapi sekaligus ikut membentuknya.
Inspirasi untuk Kreator Digital
Bayangkan konsep Cent Mille Milliards de Poèmes diterapkan pada media digital. Misalnya:
- Aplikasi pembuatan puisi otomatis berbasis AI, di mana pengguna bisa memilih baris atau tema tertentu.
- Karya seni generatif yang menggabungkan teks dan visual, seperti NFT interaktif.
- Cerita interaktif berbasis pilihan (ingat Bandersnatch di Netflix?).
Dengan pendekatan kombinatronik, kreativitas tidak hanya terletak pada pencipta awal, tetapi juga pada setiap individu yang menikmatinya.
Belajar dari Queneau: Eksplorasi Tanpa Batas
Queneau adalah anggota kelompok Oulipo (Ouvroir de Littérature Potentielle atau Bengkel Sastra Potensial), sebuah kelompok sastra eksperimental yang didirikan di Prancis pada 1960 oleh matematikawan François Le Lionnais dan Raymond Queneau sendiri. Kelompok ini terkenal karena menggabungkan elemen sastra dengan prinsip matematis untuk menciptakan metode baru dalam menulis.
Oulipo berfokus pada eksplorasi potensi bahasa melalui penerapan aturan dan batasan (constraints). Mereka percaya bahwa pembatasan formal justru dapat memicu kreativitas dan menghasilkan karya-karya yang unik serta tak terduga. Jadi, bagi Oulipo, sastra bukan hanya soal kata-kata yang tertulis, melainkan juga soal struktur dan kemungkinan. Hal ini selaras dengan dunia digital, di mana kita terus-menerus mencari cara baru untuk menyampaikan cerita.
Nah, jika kamu seorang kreator (dalam bidang apa pun), jangan takut bereksperimen! Dunia digital memberikan alat dan ruang untuk menghidupkan ide-ide seperti yang Queneau lakukan dengan Cent mille milliards de poèmes.