Seorang biarawati mengatakan jika Anna memancarkan aura Maria Magdalena dalam lukisan “Perjamuan Terakhir”. Ia melihatnya saat misa di mana mentari pagi menerobos kaca jendela Katedral Belanda, menyinari wajah pucat serta rambut pirangnya. Biarawati itu memberi nasihat bahwa keingintahuan yang besar akan menuntunnya menuju jati diri. Anna tersenyum dan langsung mempercayai ucapannya.
Keingintahuan Anna sangatlah tinggi. Sejak kecil ia berbeda dengan gadis seumurannya. Karena kesibukan orang tuanya dalam pekerjaan, ia menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku pemberian mereka agar bisa membentangkan jalannya menuju biara.
Anna selalu penasaran di mana jasad Maria Magdalena disemayamkan. Alkitab yang wajib dibacanya dirasa tidak menyebutkan bukti-bukti yang cukup jelas. Karena didera penasaran itulah Anna mendatangi dan bertanya kepada sang biarawati saat ia tak sedang berada di katedral. Mereka duduk bersisian di rumput yang membentang seperti permadani hijau. Namun, biarawati itu terdiam cukup lama dan tak mampu menjawabnya dengan pasti.
“Ada yang menyebutkan jasadnya disemayamkan dalam peti mati yang terbuat dari batu.” Biarawati menjawab. Tatapannya lurus ke depan. “Hanya itu yang kutahu.”
Mata Anna berbinar, tapi beberapa detik kemudian meredup. “Ada banyak sekali peti mati batu di dunia, Madame. Tak mungkin aku mengelilinginya.”
Biarawati itu tersenyum tipis dan tak lagi menjawab. Ia bangkit, lantas pergi meninggalkan Anna remaja yang benaknya dipenuhi kebingungan. Kehausan akan pengetahuan Anna tak terpenuhi. Matanya menerawang menatap putaran lemah kincir angin di kejauhan. Di kepalanya berputar-putar pertanyaan, di mana letak pasti peti mati batu itu?
Tak lama kemudian, kepada orang tuanya, ia meminta didatangkan guru-guru privat. Namun, mereka pun tak bisa memuaskan keingintahuan Anna. Rasa penasarannya makin menggebu, ia mencari informasi peti mati batu Maria Magdalena ke beberapa perpustakaan di daerahnya. Anna ingin sekali menemukan dan melihatnya. Namun, lagi-lagi usahanya tak membuahkan hasil. Tak ada satupun informasi yang jelas.
Untuk menutupi ambisinya yang terluka, Anna memasuki sekolah formal, lantas melanjutkan pendidikan hukum di Leiden. Di kanal-kanal serta bangunan bersejarah di sanalah Anna mengubur dalam-dalam keingintahuannya. Ia meyakinkan diri bahwa peti mati batu yang menyimpan jasad Maria Magdalena tak pernah ada. Hingga suatu hari, Pieter, sepupunya yang bekerja di perusahaan perkebunan, mengiriminya beberapa foto peti mati batu dari Hindia. Anna terkesiap. Perasaannya membuncah. Rasa keingintahuannya kembali mekar. Apakah salah satu peti mati batu di sana merupakan makam Maria Magdalena? pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, segera disusulnya Pieter ke Java, Hindia. Ia menaiki kapal VOC yang nantinya akan berlabuh di Tanjung Perak, yang berfungsi sebagai pintu gerbang perdagangan antara Java dan dunia Internasional.
Pelabuhan itu sangat ramai. Bau laut, kopi, serta rempah-rempah yang dinaikkan ke kapal dagang menerpa hidung Anna. Rasa lelahnya seketika lenyap. Di matanya, Java sangatlah menakjubkan.
“Kau bisa memanggil perempuan ini Iyem,” ujar Pieter begitu Anna tiba di rumahnya yang berarsitektur Eropa dan berisi barang-barang antik. Peter mengatakan bahwa perempuan seperti Iyem banyak dijual di pasar budak karena kemiskinan orang tuanya. Meskipun perbudakan secara formal sudah dilarang, eksploitasi tenaga kerja yang mirip dengan perbudakan masihlah banyak.
Iyem yang berdiri di dekat mereka tertunduk. Sementara Anna memutar bola matanya jengah dan ingin sekali mengumpat. Ia merasa heran, lelaki yang lahir dan dibesarkan dalam Protestanisme bisa bermain perempuan dan hidup bersama tanpa menikah. Namun, ia memilih tak peduli. Kedatangannya ke sana semata-mata demi peti mati batu. Ia berencana untuk segera mendatangi tempat pati-peti mati batu itu berada.
Sambil menunggu Pieter mencarikan orang yang hendak menemaninya ke lokasi peti mati batu, berkelilinglah Anna ke perkebunan milik perusahaan Javaanse Cultuur Maatschappij (tempat Pieter bekerja sebagai kepala bagian) ditemani Iyem yang tak banyak bicara. Untung saja perempuan Java itu cukup memahami bahasa Belanda.
Anna takjub saat beberapa kali berserobok dengan mata para kuli. Pandangan mereka terlihat seperti orang yang telah kehilangan harapan; hampa, tertekan, dan dipenuhi kebencian.
Di tengah perkebunan kopi itu langkah mereka terhenti. Mata Anna membelalak. Mereka mendapati dua orang mandor sedang memukuli beberapa kuli dengan cambuk dan rotan. Kulit punggung legam para kuli kontrak yang tidak mengenakan baju itu terkelupas, bergaris-garis merah tak teratur. Darah mengalir dari luka-luka tersebut. Anna bergidik ngeri dan segera menghampiri mereka.
“Hentikan! Kalian gila?” Anna melotot dan kesal.
“Mereka bekerja sangat lamban, Mevrouw,” sahut salah satu mandor.
Anna mengamati kondisi para kuli yang sudah lemas itu. Tubuh mereka kurus. Tulang-tulang pipi mereka menonjol dengan lingkaran hitam menghiasi mata. Anna terenyuh.
“Berikan mereka makanan. Obati luka-lukanya.”
Dua mandor itu saling pandang dengan tatapan tidak biasa, terlihat seperti ingin membantah perintah Anna. Namun, beberapa detik kemudian mereka mengangguk.
Anna dan Iyem lalu meninggalkan perkebunan. Di belakangnya, Iyem mendengarkan perempuan itu mengumpat dalam bahasa Belanda. Ia tersenyum tipis
**
Anna duduk di sisi ranjang, di bawah cahaya lampu gantung antik yang berpijar suram. Buku Max Havelaar berada di pangkuannya. Antusias membaca Anna tiba-tiba menghilang, mengingat kejadian tadi siang. Ia tak menyangka jika perbudakan dan penganiayaan yang dikisahkan dalam buku itu masihlah terjadi di Hindia. Para kuli kontrak yang buta huruf telah dibodohi dan dipaksa memberi cap jempol di surat kontrak mereka. Perasaannya makin campur aduk kala mendengar jawaban Iyem setelah tadi ia menanyainya.
“Banyak anak perempuan dan laki-laki yang dijadikan pemuas nafsu tuan-tuan kebun, Nyonya. Sesekali mereka juga dipakai oleh mandor,” ujar Iyem dalam bahasa Belanda yang patah-patah. Suaranya bergetar dan matanya menyorotkan kemarahan. Ia bersimpuh di depan Anna dengan bahu terkulai.
Tanpa sadar ia meremas buku di pangkuannya. Anna dilanda gelisah. Satu sisi ia merasa seharusnya tidak ikut campur dan meneruskan pencarian peti mati batu saja, tapi di sisi lain hatinya terdorong untuk membantu rakyat Hindia yang tertindas.
Ketika keheningan menutupi kamarnya, terdengar derap sepatu kulit Pieter mengguncang lantai, lalu pintu kamar Anna dibuka kasar. Pieter masuk dengan jari telunjuk menuding wajah Anna.
“Jangan mencampuri pekerjaan anak buahku, Ann,” ujar Pieter dengan napas berbau arak. “Aku sudah mendapatkan orang yang bisa menemanimu mencari benda yang kau cari.”
“Kalian menyiksa manusia!” hardik Anna. Ia lalu bangkit, menjatuhkan buku di tangannya dengan keras.
Pieter melotot. “Bukan urusanmu!”
“Dan kau!” Dengan napas memburu dan tatapan nyalang, Pieter menjambak Iyem yang masih duduk bersimpuh di dekatnya itu. Iyem berdiri sambil meringis kesakitan. “jangan berbicara yang tidak-tidak kepada sepupuku!” Pieter menempelengnya dua kali.
Anna berteriak dan menarik lengan Pieter agar menghentikan perbuatannya. Namun, lelaki itu malah mendorongnya hingga terjungkal dan terus memukuli Iyem. Tiba-tiba saja sesosok manusia berkulit hitam legam menerobos masuk ke dalam kamar lewat jendela yang masih terbuka. Ia langsung menghajar Pieter dan menariknya keluar. Di ruang tengah, lelaki itu kembali memukuli Pieter seperti binatang buas. Perabotan berjatuhan, lalu pecah berserakan di lantai.
Anna lekas bangkit. Tubuhnya gemetar di ambang pintu kamar. Namun, ia keheranan mendapati Iyem masih bisa begitu tenang meskipun wajahnya lebam dan bibirnya pecah.
”Hanoman, cukup, Hanoman!” teriak Iyem ketakutan.
Lelaki yang dipanggil Hanoman itu menoleh sekilas pada Iyem dengan napas memburu. Lalu, dalam beberapa tarikan napas, ia berlari keluar rumah dan menghilang dalam pekat malam.
Anna tertegun. Ia memang pernah membaca tentang legenda dewa kera bernama Hanoman dalam epos Mahabarata. Namun, ia tak pernah menyangka akan melihatnya dalam wujud manusia di dunianya sekarang.
“Siapa ia?” Anna diliputi penasaran, lalu merasa ngilu melihat kondisi Pieter.
“Entah, Nyonya, ia tak pernah bicara meskipun fisiknya besar. Ia kadang terlihat bolak-balik di sekitar kebun, kadang pergi entah ke mana. Para kuli memanggilnya Hanoman. Saya sering memberinya air atau makanan kecil karena kasihan.” Iyem menjawab seraya memapah Pieter yang babak belur dibantu Anna. Bagaimanapun juga ia tetaplah seorang budak dan harus mengobati tuannya. Bila tuannya mati akan berimbas kepada para kuli.
Penyiksaan dan pelecehan yang terus berlanjut di tempat Pieter membuat Anna mengurungkan niatnya mencari peti mati batu. Sisi kemanusiannya lebih memilih membantu mengajari orang-orang buta huruf di sana agar tidak gampang dimanfaatkan.
Bersama Iyem, Anna mengumpulkan para kuli kontrak yang terdiri dari pelbagai umur. Awalnya mereka membencinya, tetapi perlahan mulai menyukai pelajaran mengenal huruf yang Anna ajarkan. Wajah ceria mereka menghadirkan senyum di bibir Anna. Ia membantu mereka mengancam para mandor dan tuan-tuan kebun yang sering menyiksa dan menjadikan mereka budak pemuas nafsu. Ia pun suka menaruh makanan di bawah pohon besar dekat kebun untuk Hanoman.
Anna cukup puas dengan usahanya meskipun masih banyak yang sulit dibuka pikirannya. Muridnya pun makin bertambah setiap minggunya. Lewat surat ia meminta bantuan kepada orang tuanya agar Kerajaan Belanda mau mendirikan sekolah di tempat ia mengajar. Namun, pihak Kerajaan Belanda menolak usulan itu sebab dianggap membuang-buang anggaran.
Ketika mengetahui apa yang dilakukan Anna, Pieter yang pulih pun mondar-mandir di ruang kerjanya. Wajahnya tampak resah, keningnya berkerut-kerut, dan sesekali ia menghela napas berat. Dipandanginya lukisan di dinding yang menampakkan orang tuanya, orang tua Anna, dan beberapa orang penting Belanda lainnya.
Hingga suatu malam, Pieter mendatangi kamar Anna. Ia bercerita mengenai peti mati batu Majapahit yang baru saja ditemukan anak buahnya. Anna tertarik dan tersenyum lebar. Ia sampai terlupa bahwa Pieter sangat membencinya.
“Tapi aku tak bisa meninggalkan murid-muridku, Pieter.”
“Sementara, anak buahku yang akan mengurusnya, Ann. Kau tenang saja, pikiranku sudah berubah. Percayalah.” Dipegang dan diremasnya kedua pundak Anna. “Aku akan menemanimu ke tempat peti mati batu itu.”
Sejenak Anna terdiam, menimbang-nimbang, lalu mengangguk antusias. Ia berpikir, tak ada salahnya meninggalkan muridnya dalam beberapa hari.
Keesokan harinya, setelah menitipkan murid-muridnya kepada Iyem, pergilah mereka ke tujuan dengan mengendarai mobil Pieter. Dua anak buah lelaki itu duduk di bagian depan sementara Anna di belakang bersama Pieter. Ketika hampir tengah malam, mobil mereka berhenti tiba-tiba di pinggiran hutan. Anne menjadi gelisah. Perasaannya tak enak.
Dua anak buah Pieter pum turun dari mobil, sedangkan Pieter terdiam di kursinya. Anna kebingungan. Jantungnya berdebar kencang.
“Kenapa kita berhenti di sini, Pieter?”
“Kau pengkhianat. Aku harus melenyapkanmu sebelum kau menimbulkan masalah lebih besar.”
Anna terbelalak, lalu buru-buru membuka pintu mobil. Namun, Pieter menghalanginya. Dengan beringas, lelaki itu mulai memojokkan dan menciumi Anna. Sudah sejak masa sekolah ia selalu memperhatikan Anna dengan tatapan memuja. Namun, mereka terkejut saat mendengar suara tembakan. Sekeliling yang remang dan kaca mobil yang berembun membuat penglihatan keduanya tidak jelas. Buru-buru Pieter mengeluarkan senjata dari pinggangnya dengan tangan gemetar.
Akan tetapi, saat hendak mengarahkan pistolnya ke kening Anna, pintu belakang mobil di sisi Pieter terbuka. Sosok Hanoman menyembul. Tangannya merenggut dan menarik Pieter keluar.
“Awas! Senjatanya!” pekik Anna ketakutan. Dengan tubuh masih gemetaran, ia keluar dan bersandar pada sisi mobil, menyaksikan Hanoman memukuli Pieter hingga babak belur. Lalu, dua letusan senjata kembali terdengar. Tubuh Hanoman roboh seketika. Anna memekik histeris. Ia berlari menghampiri lelaki yang terkapar itu.
“Hanoman!” Anna mengguncang-guncang tubuh lelaki itu. Dadanya yang berbulu berlumuran darah.
Mengetahui Hanoman telah mati, Anna dikuasai amarah. Diambilnya pistol yang tergeletak dekat tubuh Pieter, lalu diacungkannya ke arah lelaki tersebut.
Pieter bangkit kesetanan. Ia mencoba melarikan diri dari Anna, tapi badannya sudah dipenuhi luka yang ditinggalkan Hanoman.
“Kau binatang!” Tanpa keraguan sedikit pun, Anna menarik pelatuknya.
Sepeninggal Hanoman, Anna masih terus memperjuangkan kebebasan rakyat Hindia yang tertindas. Ia sadar, harta karun paling penting adalah kemanusiaan yang merata, bukan benda mati yang keberadaan dan keasliannya saja belum jelas.
Solo, 23 Februari 2025
Antara Manusia dan Peti Mati
-
Orisinalitas
-
Peran Arahan
-
Alur Cerita
-
Gaya Bahasa
-
Penulisan