Malam ini bentangan cakrawala memamerkan perhiasan angkasanya. Begitu berkilau hingga sang bulan turut mendapatkan bagiannya. Kabar baik bagi belahan bumi yang seharusnya terbungkus kegelapan.
Langit malam yang jujur membuat segala yang ada di bumi tampak cukup jelas. Sejelas seorang pria bernama Satria yang tengah mencabuti bunga-bunga di kebun belakang rumahnya. Ia dengan liar memangkas kehidupan bunga-bunga yang sedang cantik-cantiknya itu.
Setelah selesai dengan bunga-bunga, ia lanjut mencerai-beraikan tanah menggunakan cangkul yang sepanjang gagangnya dihiasi noda-noda lumpur yang telah mengering. Tidak berhenti sampai di situ, ia juga mulai melubangi tanah itu. Ia menggali dan terus menggali, seolah-olah sedang menyiapkan tempat teraman untuk menyembunyikan harta Karun.
Sementara itu, Yas, anak laki-lakinya duduk di atas rumput kering sembari memeluk kakinya yang ditekuk. Ia hanya bisa mengamati sang ayah dengan gemuruh yang terperangkap di dalam dadanya. Di saat pandangannya beralih pada gulungan selimut yang melintang di hadapannya, secuil gemuruh berhasil melewati sudut matanya.
Ketika Satria hendak membopong gulungan selimut itu, barulah Yas bangkit, lalu menghambur, memeluk lengan ayahnya. Dengan terbata-bata ia berkata, “Jangan, Ayah. Jangaaaan.”
Melihat sang ayah yang tidak menunjukkan reaksi sama sekali, Yas pun perlahan menaikkan intonasi suaranya sambil mempererat pelukannya.
Seketika keadaan berbalik. Kini giliran Satria yang mencengkeram erat lengan Yas. Lantas gemuruh yang sempat meluap kembali tertahan di rongga lehernya.
“Bukankah sudah kubilang bahwa tugasmu hanya melihat dan mengingat!” Suara Satria pelan, tapi tajam. Cukup tajam untuk memutus nyali yang dimiliki bocah usia sepuluh tahun itu.
“Mengerti?” Kini tatapannya yang tajam. Yas pun mengangguk.
Lantas Satria melepaskan cengkeramannya. Kemudian ia kembali melanjutkan urusannya yang sempat tertunda. Ia mengangkat selimut yang digulung memanjang itu, lalu membawanya ke tanah yang telah ia lubangi. Kemudian ia melemparnya. Selanjutnya, ia mengembalikan tanah yang sempat tercerai-berai ke tempat semula.
Lalu Yas, ia tidak mampu memenjarakan gemuruh di dadanya terlalu lama lagi. Gemuruh itu pun berhamburan keluar melalui mulut dan matanya. Lantas tangisnya mengudara, melayang jauh, lalu dipecah oleh angin hingga terbagi menjadi serpihan suara yang menyebar ke segala arah. Namun, tidak ada yang mendengarnya. Jarak antara rumah ke rumah yang renggang membuat serpihan suara terpecah lagi, terpecah terus-menerus, sampai akhirnya menghilang.
***
Suara pintu kamar yang digedor membangunkan Yas dari tidurnya. Namun, ia belum mau beranjak. Ia malah hendak memejamkan matanya lagi.
“Yaaas, sudah pagi!” Terdengar suara perempuan samar-samar.
Sontak Yas bangkit. Degup jantung Yas tiba-tiba menguat, seolah-olah tengah menggedor-gedor dadanya. “Ibu?” tanyanya ragu.
Tidak mungkin! Jerit Yas dalam hati. Lalu panggilan itu kembali terdengar. Membuat Yas berpikir barangkali yang semalam terjadi hanya mimpi.
“Ibu?” tanyanya lagi sambil beranjak dari tempat tidur.
“Ibu!” teriaknya penuh semangat sembari membuka pintu.
Namun, antusiasnya seketika padam tatkala yang ia lihat adalah wanita yang wajahnya mengingatkan Yas pada pakaian yang belum disetrika. Lantas hidung Yas mulai memanas. “Oh, Nenek,” katanya dengan suara lemah.
“Ibumu kabur!” seru wanita tua itu sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Yas. Bau tidak sedap yang menguar dari mulutnya membuat Yas spontan memalingkan wajahnya.
“Untuk sementara, akulah yang harus mengurusimu! Aku tidak mau mendengar bantahan seperti yang biasa kamu lakukan,” katanya lagi.
“Buuu, Yaaas, mari makan!” Panggilan sang ayah seharusnya bisa dijadikan kesempatan bagi Yas agar bisa melarikan diri dari sang nenek. Namun, mendadak dadanya kembali diliputi gemuruh. Gemuruh yang sama dengan yang ia rasakan tadi malam. Rasa sakit, sedih, takut, segala hal yang buruk seakan-akan bercampur menjadi satu, menguasai hati dan pikirannya, membuatnya enggan bergerak.
“Ada apa dengan kupingmu?” hardik sang nenek sambil menarik tubuh Yas hingga ruang makan.
Di ruang makan, Satria telah menunggu. “Yas, duduk di sini!” perintahnya sembari menarik kursi di sampingnya. Tanpa bicara, Yas menghampiri kursi yang ditunjuk sang ayah. Sementara itu, neneknya memilih duduk berhadapan dengan Satria.
“Jam berapa istrimu pergi?” tanya nenek sembari menciduk nasi ke piringnya.
“Beberapa saat setelah Nenek pulang,” jawab Yas dengan mata menerawang. Ia sedang berusaha memutar ulang kejadian kemarin sore di dalam kepalanya.
“Memang dasar wanita kurang iman. Karena orang sepertimu, Satria terus-terusan ditimpa kemalangan,” kata Yas, meniru apa yang dikatakan neneknya kemarin, tepat sebelum ia pulang. Sontak wajah sang nenek memerah, semerah sambal tongkol yang baru saja ia tuangkan di piringnya.
“Setelah melahirkan anak yang bodoh, sekarang kamu membuat usaha Satria gulung tikar. Begitulah, kesialan itu menular.” Mulut Yas belum juga berhenti.
“Cukup! Aku tidak bertanya padamu!” hardik nenek Yas.
“Ibu pikir aku tahu?” Ayah Yas turut masuk ke dalam obrolan. Ia mengatakannya sambil mengaduk-aduk sarapannya.
“Setelah Nenek pulang, Ibu masuk kamar. Lalu—.”
Tiba-tiba sang ayah menggenggam kuat tangan Yas. Anak dan ayah itu pun saling menatap satu sama lain, cukup lama.
Yas menunduk, “Lalu … lalu aku menangis.”
“Saat itu aku datang. Dan Devi sudah tidak ada. Sepertinya ia kabur lewat jendela,” ucap Satria dengan tatapan tanpa isi.
“Ibu sudah tidak ada.” Yas mulai terisak.
“Ibumu akan segera ditemukan. Bersabarlah.” Sang ayah kembali menggenggam tangan Yas.
“Maaf, Nenek, aku belum lapar,” katanya lagi sambil menggeser piring yang belum diisi apa pun. Lalu ia pergi.
***
Taman di belakang rumah Yas masih memperlihatkan sisa-sisa peristiwa tadi malam. Tangkai-tangkai bunga yang tidak lagi bernyawa tampak bergelimpangan di tanah, tempat mereka dilahirkan. Nasib baik Tuhan menurunkan embun untuk memandikan mereka. Lalu Yas datang menyempurnakannya. Ia memungut dan membungkus bunga-bunga itu menggunakan kantung plastik yang berceceran di sudut taman. Kemudian ia menguburnya di samping lahan yang sempat dilubangi ayahnya. Selama proses pemakaman bunga, mulutnya tidak berhenti komat-kamit.
“Bukankah lebih baik kamu belajar membaca?” Suara nyaring itu membuat Yas melompat. Neneknya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Yas.
Lantas kepala Yas berayun dari kiri ke kanan, “Tidak mau!”
Wajah sang nenek seketika memerah. Dadanya kembang kempis. “Tidakkah kamu memiliki keinginan untuk sekolah seperti anak-anak lain?”
“Tidak ada yang mau menerimaku!” jawab Yas tegas.
“Ah, mengapa ibumu tidak mengajakmu sekalian? Menurutmu mengapa, hah? Karena ibumu stres! Mengapa ia stres? Karena ia tidak memiliki iman yang kuat,” ucap sang nenek sembari memegangi pundak Yas. Yas harus menahan napas karenanya.
“Itu tidak benar! Ibu rajin sembahyang, kok. Tuhan saja yang tidak menyayanginya. Tuhan menyebalkan, seperti Nenek,” kata Yas tanpa ragu.
Lalu sang nenek mengguncang tubuh Yas sembari berteriak, “Seharusnya ia membawamu!” Matanya membelalak. Yas pun menangis.
***
Hari terus bergulir. Yas jadi lebih sering menghabiskan waktu di taman belakang rumahnya. Tidak hanya sekadar memandangi taman kecil yang kini mulai ditumbuhi rerumputan, ia juga sekaligus mengingat-ingat detail yang terjadi di malam itu. Bahkan ia turut mempraktikkannya pada serangga-serangga yang secara kebetulan bernasib naas.
Sore ini, di bawah langit yang mulai jingga, Yas tengah membungkus tonggeret menggunakan tisu. Setelah itu, ia mencabut segenggam rumput. Kemudian ia mencakar-cakar bagian tanah yang baru ia gunduli hingga membentuk cekungan yang cukup untuk menyemayamkan serangga yang sebelumnya Yas temukan di serokan sampah.
“Sudah sore! Masuuuk!” perintah sang nenek. Namun, Yas hanya menoleh sebentar, lalu melanjutkan kembali aktivitasnya.
Melihat Yas yang tidak mengindahkan perintahnya, neneknya lantas menghampiri Yas. “Kamu bahkan belum mandi.”
“Oh, apa yang sedang kamu lakukan, Yas?”
“Mengubur tonggeret.” Yas berbicara sambil merapikan pemakaman tonggeret.
Lalu nenek Yas berjongkok di samping Yas. “Yang ada di serokan sampah? Kamu mengubur serangga yang mati bunuh diri? Oh, murah sekali hatimu. Ah, entahlah, mendengar kamu mengubur serangga saja begitu menggelikan. Apalagi …. Ah, Ya Tuhaaan.”
“Serangga yang mati bunuh diri?” Yas mendongak, menatap neneknya dengan penuh tanya.
“Serangga yang masuk ke dalam kediaman manusia bukankah sama saja dengan bunuh diri? Siapa pun yang bunuh diri, tidak pantas mendapatkan tempat peristirahatan yang layak,” jawab nenek. Ia memelotot.
Yas menelan ludah. Tiba-tiba gemuruh di dalam dadanya bangkit kembali. Sesuatu yang harusnya ia lupakan mencuat kembali di ingatannya.
“Lebih baik besok kamu membantuku menanam bunga di sini. Daripada kamu terus-terusan mengubur serangga-serangga tak berguna.”
“Tidak boleh!” jerit Yas. “Di dalam sini ada harta karun milikku dan Ayah. Nenek tidak boleh tahu sebelum Ayah mengizinkannya!”
Wanita tua itu mengerucutkan bibirnya. Bola matanya berputar. Lalu ia mendesah. “Apa lagi ini?” Kemudian ia beranjak. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia kembali berjongkok.
“Selesaikan segera! Sebentar lagi ayahmu pulang. Aku pun harus bersiap pulang.”
Sang nenek tiba-tiba membelalak. Ia menggelengkan kepala tatkala melihat Yas menaruh rerumputan dan menggulungnya di dalam selembar tisu. Lalu ia mendengar Yas mengatakan sesuatu. Hampir terdengar seperti bisikan.
“Ayah membungkus Ibu dalam selimut.”
“Lalu Ayah menggali tanah, dan melemparkan Ibu ke dalam tanah,” ucap Yas sembari mempraktikkan apa yang ia ucapkan pada gulungan tisu yang berisikan rumput.
Sontak sang nenek menepuk tangan Yas. “Apa yang kamu ucapkan?”
“Hah?” Yas melongo.
“Apa yang kamu ucapkan barusan? Apa yang ayahmu lempar ke dalam tanah?” Nenek mulai histeris. Lalu ia berdiri sembari melihat ke sekitar.
“Apa ini ada hubungannya dengan harta Karun yang kamu ucapkan tadi?” teriak nenek Yas. Yas menggeleng kuat-kuat. Air matanya mulai mengalir.
Lantas nenek Yas menjatuhkan diri di atas rerumputan yang kering. Kemudian ia menjambak rumput-rumput yang usianya masih beberapa hari. Lalu, sama seperti yang dilakukan Yas ketika mengubur tonggeret, ia juga mencabik-cabik tanah dengan air muka yang tegang.
“Jangan, Nek. Jangaaaan!” Giliran Yas yang berteriak histeris.
“Ambilkan sesuatu, cepat! Cangkul!” seru nenek Yas. Bulir-bulir keringat mulai membasahi tubuhnya. Yas tetap tidak beranjak.
“Cep … Cepaa ….” Nenek Yas tergagap. Ia menekan dadanya. Mulut dan matanya sama-sama terbuka lebar. Lalu ia ambruk. Yas pun menghambur ke tubuh neneknya sembari menjerit.
***
Hening. Terlampau sepi, hingga derap langkah dari dalam rumah terdengar seperti sebuah lecutan bagi jantung Yas. Lantas mata dan mulutnya bereaksi. Tangis sekaligus raungan pecah di udara.
Lalu dari dalam rumah, pemilik derap langkah kaki yang berat itu muncul, menampakkan wajahnya yang pucat. Sempat lenyap, derap langkah kakinya terdengar kembali. Kali ini kakinya beradu dengan rumput-rumput kering. Terdengar renyah.
“Baru seminggu sudah ditemukan?”
“Maafkan aku, Ayah,” ucap Yas sambil berurai air mata.
“Tidak masalah. Lagi pula, waktu sebanyak itu sepertinya cukup untuk mengaburkan jejak,” ucap Satria.
“Lalu bagaimana dengan Nenek?”
Satria melipat kedua lututnya. Lalu ia meraba pergelangan tangan ibunya, cukup lama. Setelah itu, ia mengecek sirkulasi udara di hidung sang ibu. Kemudian ia menyeringai. “Mumpung Tuhan sedang baik, maukah kamu melakukan tugas berikutnya, Yas? Tugas melihat dan mengingat.”
Belum sempat Yas menjawab, Satria langsung beranjak pergi. Tidak lama kemudian ia kembali dengan membawa cangkul.
“Menjauhlah! Lihat dan ingatlah!” seru Satria sembari memegang bagian sudut cangkul yang menghubungkan gagang dengan mata pisaunya. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu mengayunkannya hingga menghantam kepala ibunya. Ia melakukannya berulang-ulang hingga Yas tidak sanggup lagi berteriak.
Setelah selesai, gegas Satria mendekati putranya. “Rasanya sakit bukan?” tanya Satria sembari menepuk dada Yas. Sementara itu, Yas masih membelalak. Detak jantungnya seolah-olah tengah berkejar-kejaran dengan detik waktu.
Lalu Satria menarik Yas mendekat sembari berbisik, “Sekarang kamu boleh mengatakan pada dunia apa yang kamu lihat di luar sini, yang terjadi barusan dan yang terjadi pada malam itu. Sudah waktunya ibumu ditemukan!”
Yas mulai terisak. Bukan karena apa yang barusan dikatakan ayahnya, melainkan karena sesuatu yang seharusnya ia lupakan malah yang paling menguasai isi kepalanya saat ini. Pada malam itu, beberapa saat setelah neneknya pulang, Yas menemukan ibunya tewas gantung diri.
***
Selesai.
Lampung, 23 Februari 2025
Ayah dan Anak yang Berusaha Meluruskan Benang Kusut
-
Orisinalitas
-
Peran Arahan
-
Alur Cerita
-
Gaya Bahasa
-
Penulisan