Arkeologi adalah dunia kuno dan sunyi, dunia segala yang mati, berbeda jauh dengan citra petualangan seperti yang digambarkan dalam film. Bagaikan melihat meteor di siang bolong, hanya satu dua arkeolog yang mengalami petualangan fantastis. Aku salah seorang yang beruntung dan aku yakin, kalau petualanganku difilmkan—mungkin dengan judul Bianca Grechi and The Lost City of Gold—ia bisa menjadi blockbuster yang menyaingi film-film Indiana Jones. Sialnya, bukan hanya komunitas arkeolog di London, bahkan Dave pun tak percaya pada penemuanku.
“Kau hanya perlu menunjukkan artefak itu agar orang percaya,” kata Dave ketika dia datang menjemputku sore itu dan aku menyampaikan perkembangan penelitianku.
“Dan membiarkan Catherine menyerobot penemuanku? Aku akan menjaganya sampai benar-benar bisa kuselesaikan sendiri, Dave.” Catherine Ford adalah atasanku di London and Middlesex Archaeological Society, spesialis peradaban Yunani Kuno, sekaligus orang yang paling gigih membantah penemuanku.
“Kau bahkan tak percaya kepadaku.”
“Aku hanya perlu waktu beberapa minggu lagi. Aku yakin bisa menyelesaikannya. Percayalah, Dave.”
“Baiklah. Sekarang, segeralah bersiap.”
“Aku tak suka menghadiri grup konseling itu. Kau tahu itu. Kalian memperlakukanku seperti orang tak waras.”
“Itu demi kebaikanmu sendiri, Sayang.”
“Bisakah hari ini kita tak berangkat? Aku bosan menceritakan apa yang kupikirkan kepada orang-orang yang kukenal pun tidak.”
Dave hanya tersenyum. Aku memahaminya sebagai “tidak”.
Semua bermula dari ketidakpercayaan mereka bahwa aku mendapatkan sebuah artefak berbentuk akar yang sekarang kusimpan di laci meja kerjaku. Benda itu kudapatkan melalui FedEx sekitar dua bulan yang lalu, tiga hari setelah aku keluar dari rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas yang membuat kepalaku cedera.
Pengirimnya Alessandro Biasi. Aku tak mengenal nama itu dan tak ada kolegaku yang pernah mendengar nama itu, termasuk Dave. Namun, alamat tertujunya jelas: Dr. Bianca Grechi, 22B Thames Street, London, U.K. Pada bagian pengirim tertera juga kota si pengirim—Regio de Calabria, Italia—dan nomor teleponnya. Sayangnya, berkali-kali kuhubungi, nomor telepon itu tidak aktif.
Akar itu terbuat dari granit dengan tiga juntai sepanjang jari telunjuk dan dikemas dalam sebuah kotak kayu berlapis tembaga. Ada emblem berupa pahatan Pohon Kehidupan dari marmer pada bagian depannya. Entah berapa usianya. Meskipun ornamen pada sisi kotaknya menyerupai ornamen cakram Phaistos yang berasal dari milenium kedua SM, setelah mengamati material dan teknik pengerjaannya, aku yakin kotak itu tidak lebih tua dari abad kedelapan SM.
Bukan hanya itu yang menarik. Pada salah satu ujung akar itu terdapat empat guratan yang menyerupai huruf kapital: POOT. Dugaanku, mungkin mulanya ROOT, tetapi kaki huruf “R” itu terhapus karena gesekan.
Akan tetapi, kalau benar itu ROOT, kupikir informasi itu redundan karena dengan melihat bentuknya saja, siapa pun pasti mafhum benda itu berbentuk akar. Namun, ketika kuingat bahwa paket itu dikirim dari Italia, aku menduga guratan itu bukan bahasa Inggris, melainkan bahasa Italia. Selain itu, bisa jadi huruf-huruf itu bukan kata, melainkan akronim. Tetapi, apa kepanjangannya?
Aku berusaha menerka-nerka kalimat berbahasa Italia yang membentuk akronim ROOT atau POOT, tetapi tak satu pun yang meyakinkan. Aku juga mencoba mencari nama lembaga atau apa pun yang membentuk akronim itu, tetapi tak satu pun kutemukan. Ingatanku pada Root karya Alex Haley memunculkan kemungkinan lain: jangan-jangan, artefak itu menyimpan misteri akar silsilah? Apakah artefak itu berhubungan dengan leluhurku yang berasal dari Italia?
Sayangnya, ketika kusampaikan penelitian awalku di antara kolegaku, mereka tak menanggapi. Mereka malah mengatakan bahwa aku sebaiknya beristirahat dulu sampai benar-benar pulih. Bahkan, Dave tega-teganya mengatakan aku terobsesi pada penelitian Catherine tentang Kota Emas di Yunani Kuno. Mereka juga mendesak Dave bertambah peran: selain sebagai kekasih, dia kini bertugas menjaga dan menemaniku untuk mengikuti grup konseling setiap akhir pekan. Aku yakin, itu hanya upaya mereka untuk mendiskreditkanku.
“Lima belas menit lagi kita harus berangkat. Sebaiknya, kau segera bersiap.” Dave duduk di sofa, meraih Root di meja dan membuka-buka halamannya.
Aku terdiam beberapa saat. Kupikir, mungkin sekarang saatnya kutunjukkan artefak akar itu kepada Dave. Akan kusampaikan juga bahwa aku sudah berhasil menghubungi Alessandro Biasi, orang Italia yang mengirimkan artefak itu. Setidaknya, aku berharap bisa meyakinkan Dave untuk percaya pada penemuanku dan tidak lagi membawaku ke grup konseling konyol itu.
Aku memasuki ruang kerjaku untuk mengambil dan menunjukkan akar itu kepada Dave.
Beberapa saat kemudian, taksi kami sudah melambat dan berhenti di depan sebuah rumah tua di Radice, sebuah desa di selatan Regio de Calabria. Alessandro Biasi dan seorang wanita tersenyum menyambut kami.
Aku tak ingat kapan Alessandro menghubungiku setelah melihat nomorku pada panggilan tak terjawab. Setelah dua kali berkomunikasi singkat lewat telepon, Alessandro mengundangku untuk datang ke rumahnya di Italia dan berjanji akan menjelaskan secara langsung semua yang dia ketahui tentang artefak akar itu.
“Selamat datang di Radice,” sambut Alessandro dalam bahasa Italia, lalu memelukku. Setelah menyalami Dave dan memperkenalkan Esme, istrinya, pria paruh baya itu membantu Dave mengangkat koper kami menuju kamar yang sudah dia siapkan.
“Kalian bisa beristirahat penuh malam ini,” kata Esme. Mungkin dia melihat wajahku yang kelelahan.
Penerbangan selama hampir sembilan jam dari London hingga Regio de Calabria—dengan transit di Milan dan Roma—mestinya memang menguras energi kami. Entah dengan Dave, tapi aku sama sekali tak merasa lelah. Toh, sepanjang perjalanan, aku asyik menghubung-hubungkan berbagai kemungkinan dengan akar itu dan misteri akronimnya. Aku justru makin bersemangat untuk segera mengetahui informasi yang akan disampaikan Alessandro.
Malam harinya, saat kami masih di sekitar meja usai makan malam, aku langsung menodong Alessandro untuk menceritakan semua yang dia ketahui tentang artefak akar itu. Dia menoleh ke arah Esme yang tersenyum dan mengangguk. Alessandro mengajakku ke beranda, sementara Dave memilih melanjutkan obrolan dengan Esme. Kami duduk di beranda menghadap bayangan pegunungan yang samar di bawah langit malam.
“Huruf-huruf itu memang tertera P-O-O-T, tetapi mesti dibaca R-O-O-T. Dan benar dugaanmu, R-O-O-T itu bukan akronim bahasa Inggris, tetapi bukan juga bahasa Italia,” kata Alessandro.
Aku tak menanggapi, tetapi dia pasti melihat keterkejutanku.
“Itu rho omikron omikron tau, akronim dari ρίζα οικογενειακή οπλίζει την (ríza oikogeneiakí oplízei tin)1,” sambungnya.
Itu bahasa Yunani. Kenapa selama ini tak terpikir olehku? Nama Grechi jelas-jelas menunjukkan asal-usul Yunani-ku, sebagaimana juga nama Biasi.
“Selama ribuan tahun, belum ada yang mampu mengetahui maksud akronim itu meskipun makna kalimatnya dipahami.”
“Ríza oikogeneiakí oplízei tin. ‘Akar keluarga mempersenjatainya’. Apa maksudnya?”
“Itu yang kuharap bisa kaupecahkan.”
“Tetapi, sebelum itu, bagaimana pula pusaka keluarga Grechi bisa berada di tangan seorang Biasi?”
“Sebagian besar keturunan Grechi menjadi warga berbagai negara selain Italia. Keturunan Grechi terakhir di Radice adalah mendiang ibuku, yang menikah dengan seorang Biasi. Dia menyerahkan artefak itu kepadaku, lengkap dengan semua yang dia ketahui. Jadi, begitu kudengar ada keturunan Grechi yang menjadi arkeolog di London, aku melacaknya dan berharap dia bisa memecahkan misteri ribuan tahun itu. Karena itu, kukirimkan artefak itu kepadamu.”
Dan arkeolog keturunan Grechi ini justru sedang didiskreditkan oleh para koleganya di London.
“Entah kau sudah mengamatinya atau belum,” lanjut Alessandro, “jika dilihat dari salah satu sisi, akar itu tampak seperti Semenanjung Peloponnese. Sayangnya, aku tidak tahu apa hubungannya.”
“Tunggu sebentar.” Aku bergegas ke kamarku dan kembali ke beranda membawa artefak akar itu.
Kuputar-putar akar itu untuk mencari sudut yang membuatnya terlihat seperti Semenanjung Peloponnese seperti yang dikatakan Alessandro. Ah, benar saja. Itu juga tak pernah terlintas di pikiranku. Padahal, aku melihatnya dari sisi itu setiap kali mengamati goresan POOT. Dengan perspektif itu, sekarang kulihat goresan POOT berada pada “akar” paling timur Peloponnese, wilayah Laconia. Oke, Bianca, kerahkan kecerdasanmu. Apa hubungannya akronim itu dengan Laconia?
“Ríza oikogeneiakí oplízei tin…. Ríza oikogeneiakí oplízei tin…. Ríza oikogeneiakí…. Ríza oikogeneiakí….” Aku menggumamkan kalimat itu berkali-kali hingga aku teringat artikel penelitian Catherine di London Archaeologist dan aku berteriak, “Oikogenia!”
Alessandro terkejut. “Ya, oikogeneiakí memang dari oikogéneia, ‘keluarga’. Lalu?”
“Ha-ha-ha! Bukan, bukan itu!” Suaraku histeris saking senangnya. “Oikogenia adalah kota kuno di selatan Sparta pada abad kedelapan sebelum Masehi, di Lacedaemonia. Ríza oikogeneiakí memang berarti ‘akar keluarga’, tapi bisa juga berarti ‘berasal dari Oikogenia’. Itu asal leluhur kita, Alessandro!”
“Aku tak pernah mendengar nama Oikogenia. Lalu, apa perlunya juga menyebutkan asal leluhur dengan menyimpannya sebagai teka-teki? Toh, orang sudah tahu kita adalah orang Italia keturunan Yunani?”
Aku kecewa karena Allesandro tidak antusias menanggapi penemuanku. “Memang, tak semua penemuan arkeolog diketahui masyarakat luas. Tapi, yang lebih penting pada kalimat itu adalah bagian selanjutnya,” kataku, bersiap-siap menyampaikan penafsiranku berikutnya.
“Oplízei tin, ‘mempersenjatainya’,” kata Alessandro.
“Ya. Bisa juga, ‘membekalinya’ atau ‘mempersiapkannya untuk masa depan’. Aku menduga mereka menyiapkan sesuatu untuk para wanita keturunannya. Kata ‘-nya’ di sana merujuk kepada perempuan.”
“Aku yakin mereka menyiapkan harta karun pusaka. Ha-ha-ha!”
Aku tak suka nada bicaranya. “Kau tak pecaya? Kau melecehkan kemungkinan penafsiranku tepat?”
“Kalaupun benar, nyatanya, selama ribuan tahun keturunan Grechi memeras keringat sendiri.”
“Itu karena tak seorang pun berhasil memecahkan pesannya. Mereka perlu ribuan tahun untuk menunggu munculnya Bianca Grechi.”
Kulihat air muka tersinggung pada wajah Alessandro. Aku tak peduli.
“Lantas, bagaimana kita akan menemukan harta pusaka itu?”
Ha-ha! Dengarlah, sekarang dia menggunakan kata “kita” meskipun sudah kukatakan bahwa kata ‘-nya’ di sana merujuk kepada perempuan. Aku senang. Itu artinya sekarang Alessandro tertarik dan masih manusia.
“Aku akan mempelajari lebih lanjut penelitian Catherine tentang Kota Emas bernama Oikogenia. Dengan menghubungkan berbagai informasi yang kita tahu dan penelitian itu, aku yakin bisa menemukan petunjuk lokasi harta itu.”
“Kau begitu yakin penafsiranmu benar.”
“Kau punya penafsiran lain?”
“Em … tidak, sih, tapi—“
“Jelas, aku yakin dengan penafsiranku dan akan kubuktikan. Yang penting, jangan ceritakan hal ini kepada siapa pun … termasuk Dave.” Aku menurunkan volume suaraku pada akhir kalimat.
“Dave Harrison itu kekasih sekaligus kolegamu.”
“Kali ini dia tak mendukung penelitianku.”
“Tapi, dia bersedia jauh-jauh menemanimu ke sini.”
“Hanya sebagai kekasih.”
***
Setelah penerbangan dan perjalanan darat selama sekitar delapan jam, aku dan Dave tiba di Hotel Pavlopetri di Vingflavia. Dari hotel, kami hanya perlu berjalan sekitar lima belas menit ke Teluk Vatika, tempat kota tenggelam Pavlopetri. Berdasarkan informasi dari penelitian Catherine, di sekitar teluk itulah lokasi Oikogenia.
Hasil penelitian Catherine tak banyak menarik minat para arkeolog. Itu hal yang menguntungkan bagiku. Dengan begitu, situs Kota Emas yang disebut dalam penelitiannya tidak dikerubungi peneliti.
Aku sudah mengantongi izin untuk meneliti situs itu dan, bersama Dave, mulai mengeksplor wilayah perbukitan batu di Teluk Vatika. Aku tahu yang harus kucari: sebuah wilayah dengan topografi menyerupai akar jika dilihat dari angkasa. Begitu tiba di lokasi, kulihat sebuah gua di sana.
Gua itu hanya sekitar dua puluh menit berjalan dari hotel. Kecil kemungkinan pelancong yang menyusuri Teluk Vatika tak menemukannya. Kecil kemungkinan juga Catherine tak menemukannya. Anehnya, aku tak melihat jejak atau tanda orang pernah mengunjunginya. Meskipun demikian, sekali lagi, itu kumaknai sebagai keberuntungan bagiku.
Aku berjalan di depan dan harus menyalakan senter setelah kami menyusuri gua selama sekitar lima menit. Lorong yang menikung membuat cahaya matahari dari mulut gua tak mampu meneranginya. Udara lembap dan bau amis menguar dan dari motif ornamen di dindingnya, aku yakin gua ini dulunya sebuah lorong bangunan.
Lorong berakhir pada sebuah dinding batu dengan tuas-tuas menonjol. Seperti telah membaca kitab rahasia, aku merasa tahu kombinasi tuas mana yang harus kuungkit atau kutekan secara beurutan. Dave mendorong pintu batu itu. Tidak sebagaimana dalam film-film, tak ada jebakan, tak ada gas beracun, tak ada hewan berbisa yang mengadang. Pintu terbuka dan … et voila!: sebuah ruangan besar dipenuhi tumpukan perhiasan emas dan permata.
Perlahan kudekati tumpukan perhiasan itu, kuraup dengan kedua tangan, lalu kuhamburkan ke udara. Berkali-kali kulakukan itu sembil tertawa-tawa.
Allesandro harus melihat ini! Penafsiranku tepat! Leluhurku membekaliku dengan harta karun tak terhingga! Ha-ha-ha!
“Kita mesti berangkat sekarang, Sayang.” Tiba-tiba Dave menyentuh bahuku.
“Sebentar!” jawabku spontan. “Apakah kita akan menyia-nyiakan harta karun ini? Apakah kau benar-benar tak menghargai penemuanku?”
“Harta karun apa, Sayang? Kita harus segera berangkat atau terlambat.”
“Harta karun peninggalan leluhurku, Dave. Harta karun yang kita temukan di Oikogenia.”
“Sayang, kita tidak pernah ke Italia, tidak pernah ke Yunani. Radice dan Oikogenia itu hanya ada dalam hipotesis Catherine. Kau hanya membacanya. Kita tidak pernah mengunjunginya. Lupakanlah cerita artefak akar itu.” Dave memelukku, sementara aku terperangah mendengar omongannya.
Aku tak mengerti, bagaimana bisa dia ingkari semua petualangan kami? Kalau begitu, bagaimana lagi aku bisa meyakinkannya? Apatah lagi meyakinkan kolegaku yang lainnya?
Dave mengenakan jas panjang ke bahuku, merapikannya, lalu menggandengku berangkat menuju grup konseling memuakkan itu.
—Selesai—
Catatan:
- Ríza oikogeneiakí oplízei tin (Yunani) = “Akar keluarga mempersenjatainya” ↩︎