#MdAFeb2025
Arahan Utama: Harta Karun
Suara hujan terdengar lebih mengerikan di dalam rumah Sintia. Setiap air yang jatuh di atap seng miliknya akan terdengar seperti guntur yang benar-benar menghantam sesuatu tepat di atas kepala.
Dia baru pulang pukul sebelas malam. Bajunya lusuh dan hampir basah penuh ketika menginjak halaman. Meski berlari sambil mengenakan payung yang hampir selebar lemari baju plastik jaman dulu, tubuhnya tetap menggigil dihantam hujan dan angin dari berbagai arah. Dihempas ke sana kemari. Tubuhnya yang mungil pun hampir tersungkur berkali-kali.
“Bagaimana kabar Ibu?” Sintia menutup payung merah mudanya dengan tergesa-gesa sebelum memasuki teras rumah. Pakaiannya mengucurkan air lebih banyak dari keran di rumahnya saat diperas.

Mirna, sang adik, yang merawat ibu mereka ketika Sintia tak ada mulai menangis. Tubuhnya gemetar ketika Sintia dekap. Meski dia tak terkena hujan, pipi gadis kecil itu sudah sama basahnya dengan Sintia.
Kresek hitam yang tadi ia bawa sambil berlari ia serahkan ke Mirna, lalu buru-buru masuk rumah. “Cepet makan,” teriaknya dari lorong.
Meski masih menangis, tapi anak itu mulai terlihat tenang mendapati kedatangan kakaknya. Bukan setiap hari sang kakak bisa ada di rumah. Kondisinya kakaknya yang masih kuliah ditambah mesti bekerja membuat dia jarang pulang. Dia lebih memilih tinggal di kontrakan yang lebih dekat dengan tempat kuliah.
Di balik pintu, Sintia bisa mendengar ibunya meringis kesakitan menahan borok di betisnya yang mulai berbau sejak beberapa bulan lalu. Seperti bom gas, aroma busuk langsung berjejalan keluar ketika pintu dibuka. Sintia refleks menutup hidung. Meski sudah sejak borok itu mulai berbau ia mengurus ibunya, tapi aroma menyengat itu terkadang tetap membuatnya mual.
Dia segera menghangatkan air untuk mencuci luka-luka basah itu. Dengan penuh kehati-hatian ia mengusapkannya sedikit demi sedikit ke betis sang ibu. Ia juga rajin mengajak ibunya bicara tentang banyak hal. Anjuran dokter. Semua yang bisa ia bicarakan akan ia bicarakan dengannya. Namun, bukan berarti semua hal.
“Bukumu laku?” Pembicaraan mereka sampai di titik di mana Sintia tak mau membahasnya lebih jauh. Dia tersenyum kecut. Pandangannya masih tertuju ke betis yang borok.
“Laku, Bu. Ibu tenang aja. Maaf aku ga bisa selalu di sini, tapi aku janji bakal selalu ke sini setiap dua atau tiga hari sekali.”
Kebohongan demi kebohongan. Demikian cara Sintia membahas tentang pekerjaannya sebagai penulis. Empat hari lalu ia menerima kabar tentang bukunya yang ia kirimkan ke GlowLit. Tapi, kabar yang ia terima bukan kabar baik, melainkan kabar buruk yang bukan hanya berisi penolakan, melainkan juga diskriminasi. Dengan kalimat sederhana, tapi menciptakan kebrutalan yang luar biasa. Sebab, buku yang membuatnya mendedikasikan hampir semua waktu dan tenaganya siang malam selama bertahun-tahun itu, ditolak dengan alasan yang sangat tak masuk akal dan remeh, karena Sintia seorang perempuan.
“Karya penulis perempuan kurang bisa diterima di genre Thriller.” Demikian pesan itu tertulis di email dan juga kepala Sintia. Bak paku memahat batu, demikian juga pesan itu terpatri di kepalanya.
Ia sangat terpukul. Hampir tiga hari penuh ia mengurung diri dan tak pernah menyentuh makanan. Jika tak ada diabetes di sang ibu, atau umur yang mungil di sang adik, mungkin Sintia tak akan pernah keluar dari kamar selamanya.
Dengan tekad bulat, dia berniat membuat identitas palsu, menjadi penulis pria. Di matanya, entah kenapa, penulis dari kalangan pria cenderung lebih diminati, bukan hanya di dunia nyata, melainkan juga di dunia maya. Sintia memulai langkah dengan membuat akun Facebook bernama Ryan. Sebenarnya, ia tak terlalu berharap banyak dari akun tersebut. Keadaan akunnya yang masih baru membuatnya sangsi akan keberhasilan yang bisa dia tuai.
Namun, yang ia dapat benar-benar sukses besar. Postingan perdananya yang ia sebar di beberapa grup berhasil menarik banyak perhatian. Ceritanya, yang menurutnya sendiri, setengah matang ternyata digemari dan mengundang banyak interaksi. Bak mendapat Harta Karun, kehidupannya jadi begitu menggairahkan.
Sejak saat itu, Sintia semakin sering aktif di Facebook dengan akun Ryan. Sesekali ia berdecak, mencaci kenyataan yang tak adil tentang bagaimana ia dulu yang mati-matian mencari sepuluh like, sementara sekarang bisa mendapat ratusan hingga ribuan like hanya dengan modal gombalan rendahan.
Kesuksesannya di Facebook pun tak hanya membuat akun lain terkesan, melainkan juga membuat beberapa penerbit tertarik untuk meminang. Yang paling menarik perhatiannya, tentu saja tawaran GlowLit. Matanya membelalak ketika menemukan nama penerbit itu. Benar-benar tak bisa dipercaya, teriaknya di suatu hari.
Dia menerima itu dengan senang hati, dengan syarat ia bisa bekerja dari rumah dan ia boleh menutup diri, tentu saja. Menjadi editor di GlowLit benar-benar seperti mimpi yang jadi nyata untuknya. Di setiap rapat Zoom, dia bahkan tak pernah menyalakan kamera atau menampilkan wajah. Sering kali hanya menampilkan foto jeruk.
Dia dengan cepat sukses besar dan menjadi aset perusahaan. Kepopulerannya di media sosial merembet ke hampir semua hal. Cerita yang ia tulis atau tips-tips yang ia bagi selalu ramai dengan ratusan komentar. Banyak yang memujinya, tentu banyak pula yang iri. Namun, jika dia memang memiliki keahlian, iri yang muncul di hati orang lain cepat atau lambat akan terbentur dengan kesadaran diri mereka sendiri.
Fian, editor senior di GlowLit, menjadi yang paling sering menghubungi Sintia. Namun, setiap kali dia mengirim pesan, Sintia selalu merasa tak nyaman. Fian serupa misoginis akut. Sintia ingat benar bahwa Fian merupakan editor yang menangani naskah miliknya yang ditolak dulu. Naskah itu sempat diloloskan oleh editor junior sebagai langkah penjaringan naskah. Sintia tahu persis sebab dia menjalin komunikasi dengan editor tersebut beberapa kali. Namun, naskah itu segera ditolak mentah-mentah begitu sampai di meja Fian.
Sintia tak percaya kini mereka berdua mesti bekerja di tempat dan bagian yang sama. Meski tak ada interaksi fisik, tapi perasaan benci itu tetap mengakar dan semakin dalam.
“Apa kau benar-benar tak bisa pergi? Aku akan mentraktirmu minum,” tulis Fian lewat Whatsapp.
“Terima kasih, tapi tidak.”
“Banyak perempuan seksi di sini.”
Sintia, untuk ke sekian kalinya, membalas pesan Fian hanya dengan emotikon senyum.
Dia sesekali bertanya dalam hati, “Apa benar dia bisa mengenali seseorang hanya dari tulisan? Kurasa ia tak sehebat itu.”
Namun, satu hal yang pasti, entah kenapa Sintia selalu merasa diawasi sejak kali pertama menjalin komunikasi dengan Fian. Semacam ada perasaan tak nyaman yang semakin hari dirasakannya semakin dalam. Dia pernah memutari kontrakan hingga tiga kali di tengah malam hanya untuk memastikan prasangkanya salah.
Saat itu, Fian mengiriminya pesan yang berbunyi, “Mungkin jika kau tak bisa ke sini, aku bisa ke sana?”
Pesan itu diakhiri banyak emot tawa, tapi Sintia benar-benar tak berpikir itu candaan. Beberapa menit setelah pesan itu dia terima, ia seperti mendengar suara langkah kaki di sekitar kontrakan, padahal kontrakannya dengan rumah tetangga lain tergolong jauh dan tak mungkin pula ada dari mereka yang iseng berjalan-jalan mengelilingi kontrakan di malam hari.
****
Setelah beberapa waktu berlalu, Sintia sampai di momen di mana ia menerima naskah yang mengingatkannya kepada dirinya di masa lalu. Tertulis nama Lia sebagai pengirim naskah tersebut. Habis tuntas naskah itu ia baca hingga selesai. Dia sangat menikmatinya. Tanpa pikir panjang, dia langsung menghubungi Lia secara langsung.
Lia terdengar senang mendengar respon Sintia. “Aku agak ga yakin sebenernya.”
Jawaban itu juga membuat Sintia senang. Dia benar-benar mirip dengannya. Semangatnya, naskah yang dikirim, bahkan respon yang ia berikan saat mendapat kabar baik.
“Aku jarang nemu penulis thriller perempuan di sini. Mungkin aku akan jadi salah satunya? Hihihi.”
Tangan Sintia membeku. Saat itu pula dia menemukan alasan yang kuat untuk menerbitkan naskah tersebut.
Namun, entah dari mana, rencana pencetakan novel Lia diketahui Direktur. Dia tampak tak suka dengan keputusan Sintia. Mereka mengadakan pertemuan mendadak lewat Zoom. Sintia dicecar dengan banyak pertanyaan dan pernyataan aneh dengan kesimpulan yang dipaksa bulat bahwa naskah Lia tak bisa diloloskan.
“Naskah ini atau karirmu?” sentak Direktur.
Itu tak adil, tapi Sintia tak memiliki pilihan bagus. Mau tak mau Sintia batal menerbitkan naskah tersebut. Hanya satu kalimat yang ia kirim sebagai pemberitahuan, “Tulisanmu terlalu Feminin.”
“Hah?” Kebingungan hebat itu bisa Sintia pahami juga. Namun, dia tak bisa apa-apa. Dia sendiri masih tak mengerti kenapa direktur bisa sampai mengintervensi pekerjaannya.
“Kak, aku sempet denger gosip soal penerbit ini. Katanya banyak penulis perempuan yang didiskriminasi. Aku ga percaya, tapi …. Ini keputusan Kak Ryan? Atau siapa?”
Sintia tak membalas pesan Lia. Dia biarkan begitu saja. Pesan lain pun segera berdatangan, tapi respon Sintia tetap sama.
“Aku bakal perjuangin ini sendiri!” Terbaca di bilah notifikasi handphone Sintia.
Sintia tak mau membalas. Yang jelas, Sintia sendiri merasa muak dengan yang terjadi. Namun, saat ia pulang ke rumah sang ibu, ia justru mendapati sang Ibu sudah tak sadarkan diri. Luka di betisnya melebar. Ia tahu benar bahwa ia tak bisa berhenti bekerja begitu saja. Sintia membawanya ke rumah sakit.
Ia duduk di ruang tunggu dengan pikiran kacau. Pikirannya melanglang ketika adiknya tiba. Tak ada percakapan, tapi tangisan adiknya cukup untuk membuat hatinya remuk redam.
Sintia membuka mulut, tapi suara yang akan ia keluarkan mendadak ia tahan kembali. Adiknya berlalu begitu saja meninggalkannya duduk lesu. Dari mana pun dipandang, dia terlihat seperti orang hilang harapan. Kondisi sang ibu makin memburuk, demikian juga ketidaknyamannya dalam pekerjaan. Rasanya semakin lama ia bekerja di GlowLit, semakin tipis nurani yang ia punya. Tak bertemu bukan berarti tak mengalami masalah. Lia mencecarnya dengan banyak pertanyaan lanjutan.
****
Sintia duduk di kursi paling sudut. Sudah ada belasan lakban yang menekan dadanya agar tak menonjol. Dia mengenakan setelan hitam dengan dasi kupu-kupu merah. Potongan rambutnya juga dia buat semirip mungkin dengan potongan laki-laki. Setiap kali mendapati orang berusaha meliriknya dari jauh, dia akan berusaha menunduk.
Tak ada kepastian apa ia bisa menjaga kepura-puraan ini terus-menerus.
Waktu yang ia habiskan untuk menimbang apakah ia perlu datang juga mencapai satu jam lebih, sembari terus berdiri di depan cermin. Ia benar-benar ragu dengan rencananya malam ini. Rencana awalnya dari rumah, ia hanya akan menghabiskan waktu duduk di sudut gedung, lalu pulang dengan modal permintaan izin yang sudah disusun sedemikian rupa. Namun, agaknya sulit jika ia melihat kondisinya sekarang. Dari kejauhan ia bisa melihat Fian mendekat.
“Ryan?”
Sintia mengangguk dan tersenyum kecil.
“Ah, aku iri. Kulitmu sangat halus. Mirip perempuan.”
Sintia menelan ludah. Fian tertawa.
Fian menubruk dada Sintia saat bersalaman, itu sama sekali tak Sintia perkirakan. Secara sembunyi-sembunyi, salah satu tangannya dengan cepat menyelinap masuk ke dalam setelan, memastikan tak ada lakban yang terputus. Semua lakban masih menekan dirinya dengan sangat kuat.
“Bukankah menyenangkan?!” Fian berteriak. Satu tangannya mengangkat Wine tinggi-tinggi. “Aku tak habis pikir bagaimana bisa kau semengurung diri ini sebelumnya.”
“Aku hanya tak biasa. Lebih nyaman di rumah.” Sintia berusaha meniru suara laki-laki.
Untuk sesaat keadaan menjadi lebih menenangkan bagi Sintia. Alunan musik lembut membuatnya lebih nyaman. Sayangnya, belum lama ia merasa lega, dari pintu masuk gedung ia melihat Lia berjalan masuk. Dia mengenakan pakaian yang sangat tertutup. Dia tampak mencari seseorang.
Sintia ingat ia mesti meminta maaf dan berhutang penjelasan kepada perempuan itu. Namun, saat ia berdiri, tangannya dicengkeram Fian.
“Aku tau apa yang ada di kepalamu, hahaha!” serunya sambil tertawa. “Perempuan tertutup memang selalu menantang, bukan?”
“Apa yang laki-laki bajingan ini pikirkan?” kata Sintia dalam hati.
“Aku akan menidurinya malam ini.”
“Tunggu,” Sintia meraih kemeja Fian, “apa?”
“Dia pantas diberi pelajaran.”
“Apa yang kau bicarakan?”
“Perempuan hanya bisa menulis novel romansa murahan. Thriller? Itu dunia kita! Aku selalu benci melihat perempuan sepertinya. Dia perlu disesuaikan.”
Bagaimana ia tahu soal itu? Pertanyaan tersebut terus berkeliaran di kepala Sintia.
Tangan Sintia gemetar. Rasanya ingin sekali ia menghajar Fian. Namun, di saat bersamaan ia sadar ia begitu butuh uang. Jika ia membuat masalah dengannya, karirnya bisa sangat bermasalah.
*****
Sintia duduk di depan televisi. Sudah lebih sari 30 menit ia bergeming di sana, sementara teleponnya terus berdering menerima panggilan.
Dia menonton berita yang sama sejak tadi. Koran yang ia genggam juga membahas hal yang sama, kematian Lia. Bunuh diri, lompat dari lantai empat gedung tanpa sehelai benang pun. Sementara itu, di samping televisi, Fian menelengkan kepala, tersenyum ke Sintia.
–Selesai–
Referensi harta karun, KBBI: harta benda yang didapat dengan tidak sah.
Borok
-
Orisinalitas
-
Peran Arahan
-
Alur Cerita
-
Gaya Bahasa
-
Penulisan