Damar bersikeras bahwa ada harta karun di bawah rumahnya. Dia yakin mimpinya didatangi seorang kakek berpenampilan zaman kerajaan seminggu lalu adalah petunjuk baginya. Namun, abangnya, Rajib, tidak percaya dan menganggap adiknya itu berkhayal saja. Apalagi Damar memang dikenal sebagai seorang pria yang sudah lama tenggelam dalam kebiasaan buruknya: mabuk.
“Jangan!” Rajib menghalau adiknya yang tengah bersiap dengan cangkul dan peralatan menggali lainnya. “Kamu tuh makanya kerja yang benar, jangan mabuk terus. Biar pikiranmu jernih, nggak berkhayal terus!” teriaknya geram. “Kalau kau tetap bersikeras, coba saja!” tantang Rajib.
“Percayalah, Bang. Ada harta karun di bawah sini!” teriak Damar meyakinkan. “Tidak ada salahnya, kan, mencoba!” teriak Damar.

Adu mulut antara abang adik itu tak terhindarkan dan terus berlanjut. Sementara istri-istri mereka tidak bisa berbuat apa pun untuk menghentikan percekcokan mereka. Begitu pula anak-anaknya yang hanya bisa melihat pertengkaran bapak-bapak mereka di balik tirai kamar masing-masing.
Bukan sekali dua kali Rajib harus menghadapi ketidakwarasan adiknya. Damar kerap kali melakukan keonaran, tidak hanya di dalam rumah tetapi kampungnya. Dia sudah warga sebagai preman kampung. Setiap malam, Damar sering menghabiskan waktunya di warung kopi bersama kawan-kawannya, tetapi bukan kopi yang mereka pesan, melainkan minuman keras. Dirinya tidak bekerja. Keseharian pria berambut ikal kusam itu hanya mondar-mandir di pasar kota yang tak jauh dari Kampung Lebak Jero, kampung yang sudah menjadi tempat tinggalnya sejak lahir.
Rumah yang mereka tempati adalah tanah warisan orang tuanya yang dibelinya dari tuan tanah setempat bernama Haji Saim Sunaja. Itu adalah satu-satunya warisan yang mereka dapat dan harus dibagi dua bersama Rajib. Mereka hidup dalam satu atap bersama istri dan anak masing-masing di lahan seluas 12 tumbak itu. Namun, kini Rajib harus menghadapi keonaran adiknya itu lagi. Tidak seperti abangnya yang rajin bekerja sejak remaja, Damar justru tumbuh menjadi berandalan kampung.
Seminggu lalu, Damar terbangun di jalanan kampung, persis di tepi selokan. Pria kurus dengan janggut dan kumis tak terawatnya itu kemudian melamun. Dia mengingat-ingat akan mimpinya semalam. Dalam mimpinya, Damar berada di sebuah ruangan megah yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Dinding-dindingnya terbuat dari batu marmer berkilau, dan tirai-tirai besar berwarna merah menyala menjuntai dari langit-langit yang tinggi. Di tengah ruangan, berdiri seorang pria tua berpakaian seperti raja. Jubahnya panjang dan megah, dihiasi oleh permata yang berkilau di bawah cahaya lilin yang menerangi ruangan itu. Pria tua itu memiliki wajah yang penuh wibawa, namun ada kelembutan dalam sorot matanya.
“Kamu tahu siapa aku?” tanya pria tua itu dengan suara yang dalam dan tenang.
Damar, yang dalam mimpinya merasa linglung, menggelengkan kepala. “Tidak, siapa kamu?”
“Aku adalah leluhurmu,” kata pria tua itu sambil tersenyum tipis. “Aku datang untuk memberi tahu sebuah rahasia. Di bawah tanah tempatmu berdiri sekarang, ada harta karun yang telah terkubur selama berabad-abad, tetapi belum pernah ada yang menemukannya. Kamu adalah yang terpilih untuk menemukan harta itu.”
Damar terdiam, merasa kebingungan. “Harta karun? Di bawah rumahku?”
Pria tua itu mengangguk. “Benar, di bawah tanah yang ada di bawah rumahmu. Kau hanya perlu menggali cukup dalam untuk menemukannya. Tapi ingat, harta ini akan mengubah hidupmu. Gunakanlah dengan bijak.”
Masih dalam lamunan, Damar terkesiap. Keringat dingin seketika membasahi dahinya. Ia duduk di tepi selokan, merenungkan mimpinya. Mimpi itu terasa sangat nyata, hingga ia merasa seakan-akan masih bisa mendengar suara pria tua tersebut bergema di telinganya. Meskipun Damar seorang pemabuk, mimpi itu membuatnya tak bisa tenang. Ada sesuatu dalam mimpinya yang mengusik pikirannya, seolah-olah itu bukan hanya sekedar halusinasi.
Itulah yang diceritakan Damar pada abangnya. Tentu saja Rajib tidak percaya, atau paling tidak ia menganggap itu hanya sebatas mimpi saja.
Hari-hari berlalu, namun pikiran tentang mimpi itu terus menghantui Damar. Sampai pada suatu titik, pria itu tak lagi sanggup mengabaikannya.
Suatu hari, karena rasa penasaran yang teramat sangat, Damar mengambil sekop dari gudang tua di belakang rumah. Dia yakin dengan mimpinya. Dia akan menggali saat abangnya sudah pergi kerja di kebun Haji Saim. Akan tetapi, aksinya itu kepergok oleh istrinya Rajib. Dia memberi tahu sebelum suaminya berangkat. Lalu terjadilah pertengkaran itu.
Mereka berkelahi di dalam rumah. Teriakan sumpah serapah terdengar sampai luar, yang membuat para tetangga mulai berkerumun di halaman rumah menyaksikan perkelahian itu. Beberapa menyaksikan melalui ambang pintu yang terbuka. Beberapa mengintip melalui jendela. Bisik-bisik cemoohan pada si pemabuk yang memang suka bikin onar terdengar. Mereka sepertinya sudah mengetahui latar belakang pertengkaran itu dan tentu saja mereka menganggap Damar sudah gila.
Tanpa mereka sangka, rupanya Damar berhasil menjatuhkan abangnya. Kedua wajah dua bersaudara itu babak belur. Teriakan histeris istri-istri mereka terdengar mencengkam, seolah salah satu di antara mereka akan ada yang mati. Namun, saat Damar akan mengambil linggis sebagai senjata untuk memukul abangnya, seorang pria dari salah satu warga menghadang dan mulai melerai perkelahian itu.
“Minggir kalian!” teriak Damar. Dia menatap abangnya yang sudah terjatuh. Namun, dia sudah tidak ada niat menyerangnya lagi, melainkan bersiap untuk menggali.
Dengan tekad yang entah datang dari mana, ia mulai menghancurkan lantai keramik di tengah rumah. Awalnya, Abangnya dan istri mereka hanya memperhatikannya dengan kebingungan. Mereka berpikir Damar sudah gila akibat terlalu banyak minum semalam. Namun, Damar terus menggali, tanpa henti, seakan-akan ada kekuatan misterius yang mendorongnya. Sementara itu, Rajib yang sudah kelelahan mulai berdiri. Matanya memandang dengki pada adiknya. Jengah sekaligus kesal. Kemudian dia melangkah keluar rumah, seolah tidak mau peduli lagi apa yang sedang dilakukan saudaranya, yang sudah membuatnya berjalan agak pincang itu.
Berjam-jam Damar menggali, hingga tanah yang semula datar kini menjadi lubang yang dalam. Dan tiba-tiba, sekopnya berbenturan dengan sesuatu yang keras. Damar terdiam sejenak, jantungnya berdegup kencang. Dengan tangan gemetar, ia mulai membersihkan tanah yang menutupi benda itu. Benda itu bukanlah peti kayu seperti harapannya, melainkan sebuah kain yang agak tebal berwarna hitam dan sudah sobek di beberapa bagian.
Dengan hati-hati, Damar menarik kain itu keluar dari dalam lubang. Istrinya dan istri abangnya yang dari tadi menonton dengan penasaran lalu mendekat. Damar membuka kain yang tampak terikat simpul dari keempat ujungnya. Tak disangka dalamnya terdapat tumpukan koin berwarna emas bertuliskan VOC. Mereka semua terdiam, terpaku melihat harta karun yang selama ini terkubur tepat di bawah tanah rumah mereka.
“Kau benar-benar menemukannya…” bisik Mira, istri Damar.
Damar hanya mengangguk, matanya masih terpaku pada kilauan koin-koin emas itu. Dia tertawa. Ternyata itu bukan sekedar mimpi. Dengan raut wajah puas sambil menggenggam tumpukan koin itu ia melebarkan senyum dan melihat wajah istrinya yang tak kalah bahagia. Para tetangga pun heboh. Damar langsung menutupnya kembali dengan cara mengikatnya seperti semula. Kemudian dia pergi keluar rumah dengan membawanya serta. Dia berlari menuju kebun tempat abangnya bekerja. Setelah sampai di sana, dia memperlihatkan pada abangnya itu.
“Kita kaya, Bang. Kita kaya!”
Awalnya Rajib tak percaya. Dia memandang risi adiknya itu. Namun, setelah melihat tumpukan koin emas itu, dia paham maksud kedatangan adiknya itu. “Ki-ta ka-ya,” ucap Rajib agak tertahan-tahan.
Mereka pun mulai tertawa bersama.
🪙🪙🪙
Setelah kejadian ditemukannya koin-koin emas oleh Damar empat tahun lalu itu, semua pemukim kampung pun menjadi ikut-ikutan. Meski tidak jelas apakah harta karun itu masih ada di sana atau tidak.
Damar sendiri sudah pindah ke kota bersama Rajib dan keluarganya masing-masing. Entah bagaimana nasib mereka. Semua warga meyakini kalau Rajib mungkin akan sukses, tapi tidak dengan Damar. Mereka menganggap Damar mungkin hanya akan menghambur-hamburkan hartanya saja. Beberapa warga pernah melihat pria itu datang kembali ke Kampung Lebak Jero semenjak kepergiannya dari kampung sepuluh tahun lalu. Tidak jelas apa yang akan atau sedang dia lakukan. Hal itu juga yang menjadi kecurigaan warga perihal kemungkinan masih adanya harta karun yang ada di kampung. Mungkin saja Damar merahasiakan letak harta karun yang lain yang ada dalam mimpinya dahulu. Namun, sampai sekarang tidak ada satu pun warga yang menemukan harta karun lagi.
Sebagian warga masih bertahan dan terus mencari harta karun itu. Tetapi, sebagian besar lainnya sudah menyerah dan meninggalkan rumah-rumah yang mereka hancurkan sendiri demi menggali tanah. Mereka membiarkan begitu saja puing-puing dan bekas galian itu dan memilih menjualnya kepada Haji Saim Sunaja yang memang pemilik awal tanah tersebut. Hingga sekarang, Kampung Lebak Jero hanya dihuni oleh belasan kepala rumah tangga yang masih bertahan, walaupun rumah mereka juga sudah berupa bilik bambu dan triplek sebagai bangunan sementara untuk tinggal.
Siang itu, sehabis menjalankan salat zuhur, Haji Saim Sunaja, berjalan-jalan di kampungnya yang sudah sepi. Tidak ada aktivitas warga seperti dahulu. Lengang. Di umurnya yang hampir memasuki kepala delapan, ia masih terlihat kuat berjalan meski harus sedikit membungkuk. Dengan kedua tangan di punggung dan gamis putihnya, ia berjalan perlahan sambil memandangi puing-puing. Sesekali dia tersenyum. Senyum yang getir. Dia terus menelusuri jalan-jalan setapak yang sudah tak tampak karena telah banyak ditumbuhi rerumputan liar. Ada satu tempat yang ditujunya: bukit.
Dan, tanpa di sangka, di atas bukit itu, Haji Saim berjumpa dengan Damar. Pria itu tampak terduduk sambil merokok dan memandangi kampung Lebak Jero di sana. Suasana canggung saat Damar mengetahui kedatangan Haji Saim tercipta. Sang kakek pun menghampirinya.
“Eh, Pak Haji,” sambut Damar.
“Saya tahu kau sering ada di sini, Damar,” ucap sang kakek. Tapi Damar tak lantas menjawab. Geriknya masih canggung. “Kamu masih penasaran apakah masih ada harta karun itu di kampung kita?” tanyanya. Kali ini Damar tersenyum. Dia tidak menyangkal bahwa pernyataan sang kakek itu benar. Pria itu membuang puntung rokok yang memang sudah habis, kemudian melirik pria tua yang sudah berdiri di sampingnya. “Memang sudah kubilang, masih ada harta lain selain harta yang kamu temukan itu, tapi buka berupa emas.”
“Maksud Pak Haji?” tanya Damar tak mengerti.
Haji Saim melirik Damar. Dengan agak ringkih dia beranjak duduk di samping pria itu. Kemudian dia mulai menceritakan apa yang terjadi sepuluh tahun lalu.
Malam itu, Haji Saim sedang berjalan sepulang dari kebunnya. Dia melihat Damar sedang tergeletak di pinggir selokan. Sebenarnya dia agak risi dan menyayangkan mengapa lelaki muda itu tidak seperti abangnya yang pekerjaan keras. Pak Haji Saim sudah agak jauh berlalu, tetapi dia kembali lagi karena teringat akan sesuatu pada rumah yang ditinggali pemuda pemabuk itu. Dia menghampiri Damar dan membisikan di telinganya bahwa di bawah tanah rumahnya ada harta karun. Dia membisikan itu berulang-ulang, dengan harapan Damar memimpikannya.
“Apa? Jadi….”
“Iya, itu saya.”
Awalnya Damar tidak percaya, wajahnya risi. Tetapi mengingat Haji Saim adalah seorang yang terpandang di kampung ini dan pewaris harta dari orang tuanya yang kaya raya, dia mulai menyadari dan mengangguk-angguk pelan, meski wajahnya masih tergurat satu pertanyaan.
“Bagaimana Pak Haji tahu kalau di sana ada harta karun itu?”
Haji Saim tersenyum yang membuat kerut di seluruh wajahnya semakin jelas. Dengan suara agak serak dan ringkih dia pun bercerita tentang masa kecilnya dan kenangan bersama kakeknya.
Suatu malam Saim kecil terbangun karena mendengar berkelontangan di luar. Setelah melihat ke luar jendela, ternyata itu kakeknya. Saim melihat kakeknya membawa sesuatu, lalu pergi meninggalkan rumah. Kemudian dia mengikutinya. Tak jauh dari rumah, kakeknya sedang mengubur sesuatu. Saim memberanikan diri menghampiri. Lalu bertanya yang membuat kakeknya terkejut.
Mungkin karena merasa Saim masih kecil, kakeknya berpikir dia tidak akan mengerti, dia menceritakan semuanya saat perjalanan pulang bahwa itu adalah emas dari zaman penjajahan yang dia curinya di kota. Saim diam saja.
Kakeknya juga pernah bercerita bahwa dialah yang pertama kali menghuni pemukiman ini. Dia ingin meninggalkan area ini dan tinggal di kota dengan harta curian itu. Berbisnis. Namun, beberapa tahun kemudian, kakeknya meninggal.
Akan tetapi, saat Saim remaja, bapaknya menjual beberapa tanah ke para pendatang yang bekerja di perkebunan miliknya agar mereka bisa mendapatkan tempat tinggal, termasuk pada bapak Rajib dan Damar. Awalnya, Saim mengira harta itu akan ditemukan saat pembangunan, tapi ternyata tidak. Mungkin kakeknya menggali cukup dalam.
“Saya hanya ingin mengembalikan wilayah ini menjadi hutan seperti keinginan kakek,” ucap Haji Saim dengan suara serak. “Kamu sendiri bisa lihat, sekarang kampung ini menjadi kumuh dan tak teratur. Semakin padat.”
Damar memandang jauh ke kampung itu.
“Kamu tahu, waktu saya kecil, di sana ada danau kecil yang airnya jernih sekali, aku dan kakek sering mandi di sana. Tapi sekarang danau itu hilang. Berganti WC umum.”
Damar terdiam. Dia ingat tentang cerita Danau kecil itu.
“Sebelum saya mati, saya ingin semuanya seperti semula. Saya ingin wilayah ini menjadi hijau kembali. Seperti ingatan saya dahulu waktu masih kecil. Bebas bermain bersama kakek.”
Kali ini Damar menengok ke arah Haji Saim yang sedang tersenyum memandangi Kampung Lebak Jero yang tengah menghijau kembali.[]
~selesai~
Cimahi, 24 Februari 2025
Harta Karun di Pemukiman Lebak Jero
-
Orisinalitas
-
Peran Arahan
-
Alur Cerita
-
Gaya Bahasa
-
Penulisan