Laluna berdecak. Tampak sekali ia sedang bosan. Rambut hitam panjang dan gaun putih gadis itu menari-nari karena embusan angin. Ia sedang berdiri di depan jendela, menatap kebun melati yang seharian diguyur hujan.
“Kalau terus hujan begini, mayat-mayat di bawah melati itu bisa bangkit.” Laluna bergumam tanpa menyadari seseorang berdiri di belakangnya.
“N-nona bilang apa?“ katanya sambil membawa nampan berisi teh dan sepiring kue kering, tangannya gemetar.
“Oh, aku mengkhawatirkan melati-melati Ibu itu.”
Bunga itu tumbuh berserak di bawah jendela kamar Laluna. Ia suka mencium wanginya. Angin selalu saja menyampaikan semerbaknya melalui jendela kamar.
Namun, sebenarnya bukan melatinya, Laluna mengkhawatirkan tubuh-tubuh yang terkubur di bawah bunga itu. Ia takut air hujan akan menggerus tanahnya dan tubuh-tubuh busuk menyembul ke permukaan. Baunya pasti sangat menyengat. Ia tidak akan tahan jika bau itu mendobrak dinding rumah dan memaksa masuk. Pembantunya pasti akan kabur melihat pemandangan itu. Tapi, membayangkan muka perempuan cerewet itu pucat cukup membuatnya senang. Laluna tidak suka melihat pembantu yang selalu menyelidik itu, seolah-olah menyimpan ribuan tanya dan mencurigainya.
“Melatinya tidak akan mati, Nona.”
“Memang tidak, Bi Maryam. Tapi nanti hantu di bawahnya akan bangkit,” kata Laluna tanpa mengalihkan pandangan dari bunga-bunga kecil berwarna putih di bawah jendelanya.
Laluna senang melihat ekspresi takut di mata perempuan setengah baya itu.
“Nona kebanyakan membaca buku horor. Di umur segini, sudah waktunya Nona memikirkan pernikahan.” Ia meletakkan teh dan sepiring kue kering di nakas. “Seharusnya Nona membaca buku kisah-kisah cinta.”
Lihat. Berani sekali dia.
Laluna memutar tubuh, menghadap Bi Maryam. “Ah, aku muak pada kisah-kisah cinta klise yang berakhir bahagia dengan cara yang bisa kutebak sejak halaman pertama: lelaki miskin yang berjuang demi perempuan kaya, gadis yang menunggu seseorang yang tak akan kembali, gadis miskin yang diperistri pangeran dan hidup bahagia selama-lamanya. Ck! Sangat membosankan. Aku tahu akhir ceritanya bahkan sebelum aku mengenal nama tokohnya. Apa kau ingin tahu kisah yang lebih menarik?”
Bi Maryam mengernyit, matanya mengitari tumpukan buku yang berserak di lantai. “Memangnya ada, Nona?”
Jendela kamar yang tadinya hanya terbuka setengah, Laluna buka lebar-lebar, membiarkan aroma melati menyeruak ke dalam ruangan. “Harum, bukan?”
Perempuan setengah baya itu mengangguk, meski terlihat enggan.
“Tapi jika akarnya menyentuh sesuatu yang busuk, wanginya berubah menjadi lebih memabukkan.” Laluna tersenyum tipis.
“Maksud Nona?” Bi Maryam mengangkat wajah, menatap Laluna dengan bingung.
“Jika hujan tidak kunjung berhenti, mungkin kau akan mencium bau itu nanti sore. Atau … bisa juga kau menemukan harta karun.”
Kekhawatiran melintas di wajah Bi Maryam, tapi bola matanya berkilat sejenak. Ada percikan keingintahuan di sana.
“Nona bicara apa? Harta karun?”
Laluna bangkit dan berjalan ke sudut ruangan, menarik salah satu buku di rak yang ternyata adalah tuas sebuah pintu. Dinding di samping rak buku perlahan bergeser, memperlihatkan sebuah ruangan gelap.
Bi Maryam terpaku. Matanya membesar. “Ruangan apa ini?”
Laluna menoleh dan tersenyum—kali ini lebar. “Jika Bibi benar-benar ingin tahu kisah yang lebih menarik, masuklah bersamaku. Aku akan menceritakan tentang iblis yang patah hati. Kisah cintanya lebih manis daripada kisah cinta di buku mana pun. Tapi sayangnya berakhir tragis.”
Bi Maryam menelan ludah. Laluna melangkah ke dalam kegelapan, Bi Maryam mengikutinya dengan langkah takut-takut. Laluna menahan senyum. Melati Ibu akan semakin subur.
“Laluna!“
Ibu berdiri di ambang pintu dengan gaun tidurnya yang berwarna gading, rambutnya masih tertata rapi meski tampaknya baru bangun tidur. Mata Ibu menyapu kamar, melihat sang pembantu yang berdiri kaku di mulut ruangan rahasia, memandang jendela yang terbuka, dan menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum karena aroma melati merasuk penciumannya.
“Bi Maryam lupa harus memasak banyak hari ini? Saya harus menjamu tamu nanti malam.”
Suaranya pelan dan tenang.
“Ma-ma’af, Nyonya. Saya akan memasak sekarang.”
Pembantu itu menunduk cepat-cepat, lalu melangkah mundur sebelum berbalik dan berlari keluar, nampan di tangannya bergetar hebat.
Ibu selalu tahu segalanya.
Sendiri di dalam kamar, Laluna menatap cermin, memperhatikan wajahnya. Ada bekas cengkeraman halus di dagunya, jejak jemari Ibu. Ibu tidak perlu berteriak atau memarahinya—cukup dengan satu sentuhan, Laluna sudah tahu bahwa ibu tidak suka permainannya pagi itu.
Tapi Laluna juga tahu sesuatu.
Malam harinya, hujan telah reda, hanya tersisa tetes-tetes air di dedaunan dan kelopak melati. Gadis berusia 19 tahun itu turun ke ruang makan setelah mengganti baju. Meja sudah tertata rapi. Piring-piring porselen berkilau di bawah lampu gantung. Aroma sup ayam melayang di udara. Ibu berdiri di ujung ruangan, tersenyum anggun ketika seorang pria tua yang mengenakan jas mahal masuk ke rumah mereka.
Ah, jadi dia tamunya. Rupanya pemasukan Ibu akhir-akhir ini dari dia. Laluna tersenyum manis.
Ibu menyambutnya dengan suara mendayu-dayu, layaknya seorang nyonya rumah yang hangat. Tetapi, Laluna melihat jemari ibu melingkari gelas tehnya dengan tekanan yang nyaris tak terlihat. Ibu gugup, atau menahan sesuatu yang lain, Laluna tak paham.
“Kau sudah bertemu Laluna?” Suara Ibu mengalun.
Pria itu mengangguk, tersenyum kaku pada Laluna. “Gadis yang cantik. Sangat mirip denganmu. Entah apa yang kupikirkan dulu—“
“Sudahlah, itu masa lalu.” Ibu memegang tangan pria itu.
Senyuman di bibir Laluna seketika lenyap. Tidak biasanya ibunya bersikap seperti itu. Ibu memang sering membawa pria untuk dimanfaatkan hartanya, lalu … ya, lalu dijadikan pupuk kebun melatinya. Namun, ibu tak pernah melakukan sentuhan fisik selama ini. Ia berjarak. Ia hanya perlu memainkan kata-kata dan kecantikannya. Kali ini lain, Laluna merasakan sesuatu yang berbeda.
Makan malam itu berjalan dengan lancar dan … hangat. Laluna tidak pernah merasakan hal itu sebelumnya. Selama ini, keanggunan dan ketenangan ibunya selalu mencekiknya.
Kemudian waktu itu tiba, Ibu mengangkat sendok, mengetuk pinggir piring dengan lembut. Tiga kali. Laluna mengerti.
Dalam waktu kurang dari sedetik, Laluna menancapkan pisau di leher pria tua itu. Ibu menonton seperti seorang ratu yang mengamati seekor serangga sekarat.
“Luna—“ kata pria itu sambil memegang lehernya yang bocor.
Laluna sudah duduk kembali ke tempatnya, menyesap tehnya perlahan, menikmati detik-detik terakhir sang tamu. Ia tidak tahu mengapa pria itu menjadi korban berikutnya: mungkin karena uang, mungkin juga karena kesalahan lama yang tidak bisa dimaafkan, tapi tatapan pria itu padanya mengganggunya.
Laluna menoleh ke luar jendela. Hujan turun lagi. Melati-melati di halaman tampak gemetar diterpa angin.
Pria tua itu terbatuk-batuk, menyemburkan darah, lalu jatuh tersungkur, sendoknya terlepas dari genggaman dan beradu dengan piring. Dentingan nyaring menggema di ruang makan. Laluna memperhatikan tubuh yang menggelepar di lantai, lalu perlahan-lahan melemah.
Selesai.
“Siapa dia, Bu?“ Laluna memberanikan diri bertanya.
“Kenapa? Sebelumnya kau tidak pernah ingin tahu tentang pria mana pun yang kubawa.”
“Tidak. Hanya saja ….” Laluna menekuri teh yang sudah dingin, berusaha mencari kata-kata yang pas tentang perasaan tidak nyaman di hatinya.
“Dia lelaki yang pernah kucintai. Dulu.”
Hening. Kalimat itu cukup untuk menjawab semuanya.
“Apa kita harus menguburnya malam ini?” tanya Laluna setelah beberapa saat. Tidak ada gunanya ia menaruh simpati pada pria yang menghilang selama 19 tahun dan menciptakan seorang iblis yang patah hati, menciptakan seorang anak iblis juga.
Ibu melirik jendela. Hujan masih turun. Dingin merayapi kaca, meninggalkan jejak embun yang buram. “Tidak. Biarkan dulu.” Ia menatap Laluna, matanya berbinar. “Aku ingin menikmati aroma kematian sedikit lebih lama.”
Laluna tersenyum. Tentu saja. Melati mereka selalu tumbuh paling subur setelah malam seperti itu.
“Kita harus mengubur dua harta karun malam ini, Bu.”
Ibunya tertawa, tetapi beberapa saat kemudian tawa itu berubah menjadi tangisan. Lalu, ia menggerung sambil tertawa-tawa. Laluna tidak pernah melihat kesakitan itu sebelumnya. Ah, tampaknya sang iblis belum sembuh benar dari patah hatinya.
Kisah Iblis yang Patah Hati
-
Orisinalitas
-
Peran Arahan
-
Alur Carita
-
Gaya Bahasa
-
Penulisan