Pernahkah kamu merasa bosan membaca buku sejarah yang terlalu tebal, penuh angka, dan kering seperti daftar fakta yang harus dihafal? Kalau ya, Mirrors: Stories of Almost Everyone karya Eduardo Galeano bisa jadi jawaban yang kamu cari. Buku ini bukan sekadar kumpulan fakta sejarah biasa. Ini adalah sebuah perjalanan menembus waktu, dikemas dalam 600 fragmen pendek yang masing-masing menyajikan kisah unik, mengejutkan, dan sering kali penuh ironi.
Saya pertama kali mengenal Galeano dari karyanya yang terkenal, Open Veins of Latin America, sebuah buku yang mengupas sejarah eksploitasi Amerika Latin oleh kekuatan kolonial. Buku itu menjadi sorotan dunia setelah Hugo Chávez, Presiden Venezuela, menghadiahkannya kepada Barack Obama pada pertemuan negara-negara Amerika pada 2009. Namun, Mirrors menawarkan sesuatu yang berbeda. Sementara Open Veins berfokus pada satu wilayah, Mirrors adalah eksplorasi besar sejarah manusia dalam berbagai bentuknya—dari yang monumental hingga yang terlupakan.

Membuka Jendela Menuju Sejarah yang Tak Diceritakan
Salah satu hal yang membuat Mirrors begitu menarik adalah cara Galeano memilih kisah-kisahnya. Ia tidak menulis sejarah dalam format kronologis kaku seperti buku teks. Sebaliknya, ia menyoroti kejadian-kejadian kecil yang sering kali luput dari perhatian tetapi memiliki dampak besar.
Galeano membuka bukunya dengan kisah Adam dan Hawa. Dalam versinya, mereka mungkin saja berkulit hitam karena manusia pertama berasal dari Afrika. Lihatlah, hanya dalam satu fragmen singkat, ia sudah memancing pemikiran kita tentang bagaimana sejarah sering kali dikisahkan dari sudut pandang yang sempit dan bias.
Kemudian, ia membawa kita berkelana dari Yunani kuno, Cina, India, hingga Nazi Jerman. Di antara pangkal dan ujung itu kita diajak berwisata melintasi Yunani dan Roma, Cina dan India, Prancis, Jerman dan Nazi, petualangan orang Eropa, kolonialisme Amerika, dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar, seperti Aristoteles, Joan of Arc, dan Che Guevara. Namun, Galeano tidak hanya tertarik pada orang-orang terkenal. Ia juga menyoroti mereka yang terpinggirkan dalam sejarah: perempuan yang ditindas, budak yang kehilangan haknya, dan rakyat biasa yang suaranya jarang terdengar.
Gaya Menulis yang Ringkas, Lugas, Tapi Penuh Magis
Keindahan buku Galeano tidak hanya terletak pada kisah-kisah yang dia pilih secara cermat, tetapi juga (dan terutama) pada gaya prosanya yang elegan. Sebagai seorang jurnalis, bisa dibilang Galeano menerapkan seutuhnya prinsip bahasa jurnalistik yang ringkas dan lugas. Dia tak pernah menggunakan kata-kata yang tidak perlu (mubazir) atau tidak pada tempatnya. Namun, yang membuat kisah-kisah sejarah singkatnya unik dan menarik bagi saya adalah sisipan-sisipan leluconnya yang cerdas.
Lihat saja bagaimana ia menggambarkan Ibnu Sina (Avicenna), ilmuwan besar dari Persia:
“Hidup diukur berdasarkan intensitasnya, bukan lamanya,” katanya. Namun, dia hidup hingga tujuh puluh tahun—lumayan lama untuk orang yang hidup di abad kesebelas.
Dia dirawat oleh dokter terbaik di seluruh Persia: dia sendiri.
Hanya dalam beberapa baris, Galeano tidak sekadar menyampaikan fakta, tetapi juga menghadirkan sisi manusiawi Ibnu Sina. Kutipan ini membuat saya tersenyum dan berpikir, betapa cerdasnya cara ia menyampaikan sejarah.
Selain itu, ia juga kerap memasukkan kisah-kisah fantasi yang membaur dengan sejarah. Salah satu favorit saya adalah tentang asal-usul angin laut:
Menurut cerita para pelaut tua, dulu laut itu tenang, hamparan danau maha luas tanpa ombak dan riak, dan hanya bisa dilayari dengan dayung.
Kemudian, sebuah sampan, yang hilang dalam waktu, datang dari sebalik bumi dan menemukan pulau tempat angin-angin laut tinggal. Para pelaut menangkap mereka, membawanya, lalu mengharuskan mereka bertiup. Sampan pun berlayar didorong tiupan angin dan para pelaut, yang telah berabad-abad mendayung, akhirnya dapat berbaring tidur.
Mereka tak pernah bangun.
Sampan itu menabrak tebing karang.
Sejak itu angin-angin laut mengarungi bumi mencari rumah pulau mereka yang hilang. Angin pasat, angin monsun, dan badai mengarungi tujuh lautan tanpa hasil. Untuk membalas dendam atas penculikan mereka dulu, mereka terkadang menenggelamkan kapal-kapal yang melintasi jalur mereka.
Membaca bagian ini terasa seperti mendengarkan dongeng dari masa lalu. Kisahnya terasa ajaib, tapi di baliknya tersimpan refleksi tentang bagaimana manusia mencoba mengendalikan alam, sering kali dengan konsekuensi yang tak terduga.
Menemukan Hal Baru dalam Sejarah yang Dikenal
Salah satu kesenangan terbesar membaca Mirrors adalah menemukan fakta-fakta kecil yang mengejutkan. Misalnya, tahukah kamu bahwa citra Sinterklas yang kita kenal sekarang—pria tua berjanggut putih dengan jubah merah—sebenarnya adalah hasil desain seorang seniman Amerika, Haddon Sundblom, untuk iklan Coca-Cola pada tahun 1931? Sebelum itu, Sinterklas digambarkan dalam berbagai bentuk, tetapi citra Sundblom-lah yang akhirnya mendunia.
Banyak kisah dalam buku ini yang mungkin pernah kita dengar sebelumnya, tetapi Galeano selalu menemukan cara untuk menyampaikannya dengan sudut pandang baru yang segar. Ia tidak hanya sekadar memberi tahu kita apa yang terjadi, tetapi juga mengajak kita untuk berpikir tentang makna di baliknya.
Bacaan yang Menggugah dan Tak Terlupakan
Menemukan Mirrors benar-benar hal yang menyenangkan bagi saya. Setiap fragmennya seperti kepingan mozaik yang, ketika disatukan, membentuk gambaran besar tentang sejarah manusia. Memang, bisa jadi itu hanya karena keterbatasan bacaan saya. Namun, bukan hanya fakta-faktanya yang membuat buku ini begitu istimewa, melainkan cara Galeano menuturkannya dengan gaya yang memikat, tajam, dan penuh kehangatan.
Buku ini sangat cocok untuk siapa saja yang ingin menikmati sejarah tanpa harus terjebak dalam bacaan yang berat. Jika kamu suka membaca tentang sejarah, sastra, atau bahkan hanya sekadar ingin menikmati cerita-cerita pendek yang menggugah, Mirrors adalah pilihan yang sempurna. Begitu juga untuk kamu yang ingin menulis sejarah dalam fragmen-fragmen yang tak bikin mengantuk.