Close Menu
TerasquTerasqu

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

    Terbaru

    7.0

    Tiada Lagi Kabut di Kampung Ndat

    25 Feb 2025
    6.1

    Rahasia Permata Amethyst Ungu

    25 Feb 2025
    7.0

    Kisah Iblis yang Patah Hati

    24 Feb 2025
    Facebook X (Twitter) Instagram
    TerasquTerasqu
    Facebook Instagram WhatsApp
    • Beranda
    • Fiksi
      • Cerpen
    • Nonfiksi
      • Kebahasaan
        • Ejaan
        • Tata Bahasa
        • Kesalahan Berbahasa
      • Artikel Umum
      • Penulisan Kreatif
      • Opini
      • Reviu
      • Bulir Bernas
    • Segmen Khusus
      • Ronce
      • Proses Kreatif
      • Fakta Unik
      • Senarai Kata
    • Kamus Istilah
    • Daftar
    • Login
    TerasquTerasqu
    • Daftar
    • Login
    Home»Jenis Tulisan»Fiksi»Cerpen»Perjalanan ke Utara
    Cerpen

    Perjalanan ke Utara

    O. ZitkatoO. Zitkato1 Des 202414 Menit Baca2
    Perjalanan ke Utara
    Bagikan
    Facebook Twitter WhatsApp Telegram Email Copy Link

    Kata Kah Mamut, perjalanan malam menembus hutan itu adalah jalan paling cepat dan paling murah. Kami harus berputar ke kota dan mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar kalau melalui jalur resmi. Kami khilaf bahwa paling cepat dan paling murah bisa berarti paling berbahaya.

    Sudah hampir dua jam kami berjejalan dalam minibus, membelah malam makin ke tengah hutan, seperti seekor kutu yang merayap di sela-sela rambut. Sudah hampir dua jam juga jarak pandang kami hanya sejauh beberapa meter jalan tanah yang tersorot lampu mobil.

    “Masih lamakah, Kah Rumbun?” tanya seseorang dari kami yang duduk di deretan tengah. Suaranya tercekat, seolah-olah ada yang mengganjal tenggorokannya. Tangannya menggenggam begitu erat ponsel jadul yang layarnya retak. Ada foto bocah perempuan di sana.

    “Masih bisa tidur.” Kah Rumbun, sopir bertubuh tambun itu, menjawab tanpa menoleh.

    “Tidur saja, Yung. Nanti bangun-bangun sudah sampai,” kata perempuan yang duduk di kanan Iyung.

    Iyung tak menyahut. Dia kembali melihat ponselnya dan mengelus-elus wajah bocah di layar ponselnya yang retak dengan telunjuknya.

    “Berapa tahun?” tanya perempuan di sebelah lainnya.

    “Empat,” jawab Iyung pelan. Dia menghembuskan napas, lalu menyandarkan kepala dan memejamkan matanya. Perempuan di sebelahnya tak bertanya lagi.

    Sebagian besar dari kami memang tak saling mengenal. Kami baru berkenalan ketika bertemu di titik penjemputan tadi. Itu pun singkat saja, hanya berbasa-basi dengan orang yang pertama kami dekati, lalu sibuk dengan pikiran sendiri.

    Kami berasal dari desa yang berbeda-beda. Saat berkenalan tadi memang ada dua atau tiga orang yang sedesa. Selebihnya tak saling mengenal dengan baik. Bahkan, beberapa detik kemudian kami sudah lupa siapa dari desa mana.

    Mungkin hanya Kah Mamut yang tahu desa asal kami masing-masing. Tapi bisa jadi dia pun sudah lupa. Atau tak peduli. Sudah ratusan perempuan seusia kami yang dia berangkatkan untuk memperbaiki nasib dengan bekerja di negeri tetangga—yang berbatasan dengan bagian utara kabupaten. Rombongan kami ini entah gelombang ke berapa yang dia berangkatkan ke utara.

    Sekitar dua jam yang lalu, ketika minibus tua itu tiba di titik kumpul di depan warung tepi desa, hanya si sopir yang turun. Temannya tetap di tempatnya, di kursi sebelah kiri sopir. Sepertinya, dia asyik dengan ponselnya. Si sopir bilang bahwa mereka adalah orangnya Kah Mamut. Kah Mamut sendiri memang tidak pernah mengantarkan rombongan ke perbatasan.

    “Dia sudah mengurus semuanya supaya kalian lewat tanpa masalah. Ayo, langsung berangkat,” kata si sopir yang kemudian memperkenalkan diri dengan nama Rumbun. Suaranya riang, berkebalikan dengan wajahnya yang berewokan dan jaket kulit hitamnya yang terkesan garang. Berkebalikan juga dengan langit yang makin pekat selepas magrib.

    Kah Rumbun mempersilakan kami naik, tetapi kami malah saling pandang. Salah seorang dari kami, perempuan yang berjilbab kelabu, diam-diam mengirim pesan WA ke Kah Mamut. Pesan centang dua, tapi belum dibaca. Beberapa detik kemudian, muncul pesan dari nomor tak dikenal:

    “Nnti da yg jmput langsng naik sy tunggu disebrang. Mamut.”

    Si pemilik ponsel menunjukkan pesan itu ke perempuan di sebelahnya. Sebuah pesan lainnya masuk: “nmanya rumbun”.

    Ketika yang lain menoleh ke arah si pemilik ponsel, dia mengangguk. Kah Rumbun tersenyum. Kami pun beranjak menuju mobil.

    Teman Kah Rumbun segera turun dan membuka pintu geser mobil. Wajah pria itu lebih bersih daripada wajah Kah Rumbun. Dia tersenyum dan mengangguk kepada setiap orang dari kami saat kami satu per satu naik. Ketika salah seorang dari kami menanyakan namanya, pria itu menjawab, “Nanjan.”

    Karena ruangan penumpang sudah penuh, salah seorang dari kami diminta duduk di kursi depan, di antara Kah Rumbun dan Kah Nanjan.

    Dua jam setelah memasuki mulut jalan ke tengah hutan itu mobil masih melaju membelah kegelapan. Entah berapa jarak dari tepi desa ke perbatasan di tengah hutan. Kata Kah Mamut, kami perlu tiga sampai empat jam untuk mencapainya. Berarti sekitar satu hingga dua jam lagi kami baru sampai.

    Sebenarnya, bagi para perempuan kampung seperti kami, berjalan di gelap malam melintasi kebun atau tepi hutan adalah hal yang biasa. Hal yang biasa juga ketika kami merasa ada yang mengintai dari balik dedaunan.

    Namun, berjejalan dalam minibus seperti perjalanan malam itu baru pertama kami lakukan. Rasanya, yang mengintai kami bukan saja entah apa di balik dedaunan, melainkan juga entah apa yang mengadang di depan. Mungkin bukan melulu karena gelapnya. Mungkin juga karena separuh hati kami tertinggal di rumah, sementara kekhawatiran bagaimana nanti nasib di seberang memaksa kami untuk pasrah.

    Tak berapa lama kemudian, lampu mobil menyorot jalan bercabang di depan dan, ketika mobil berbelok ke kanan, Kah Nanjan berteriak, “Kiri! Kiri!”

    “Kenapa?” tanya Kah Rumbun. Mobil melambat dan berhenti.

    “Kita lewat jalur Mr. T.”

    “Oh, iya,” lanjut Kah Rumbun, seperti menyadari sesuatu. Dia segera memarkir mobil untuk berputar arah.

    “Siapa Mr. T? Jalur apa?” tanya perempuan yang duduk di depan, dengan tepat mewakili pertanyaan di kepala kami.

    “Seperti Mamut,” jawab Kah Rumbun.

    “Tidak bisa lewat jalan tadi?”

    “Ada jalurnya sendiri-sendiri. Supaya tertib.”

    “Kalau yang ini, jalurnya Kah Mamut?”

    “Yes! Ini jalurnya Kaaah Maaamot! Ha-ha-ha!”

    Entah kenapa nada berbicara Kah Rumbun dibuat-buat begitu dan entah apa yang lucu sehingga dia tertawa. Kami baru mendengar bahwa jalan di tengah hutan ada pembagian jalurnya.

    Mungkin untuk mengusir kejenuhan, Kah Rumbun mulai bersenandung sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya di roda setir. Entah lagu apa yang dia senandungkan. Namun, kalaupun kami tahu lagu yang disenandungkannya, tak ada minat lagi untuk ikut bersenandung—bahkan di dalam hati. Kami sudah keburu lelah. Sebagian malah sudah terkantuk-kantuk tadi.

    Senandung Kah Rumbun terhenti dan mobil melambat, lalu terguncang-guncang di atas jalanan rusak. Sebagian dari kami yang terkantuk-kantuk tak jadi tidur dan sebagian mulai bersuara lagi.

    “Kah Rumbun, kita pasti sampai ke sana, bukan?”

    “Ini benar jalur Kah Mamut, bukan?”

    “Kenapa memilih jalan yang rusak begini, Kah?”

    Kali ini Kah Rumbun tak menjawab. Mestinya memang kami tak banyak bertanya. Kah Mamut dikenal sebagai agen yang tak pernah meleset. Bukankah reputasi Kah Mamut yang membuat kami mempercayai jalan mengubah nasib yang ditawarkannya? Lagi pula, kami mestinya sadar bahwa biaya yang kami bayar memang harga untuk melalui jalur pintas di tengah hutan ini.

    Setelah beberapa lama terguncang-guncang hingga membuat perut mual, mobil kembali melaju. Kah Rumbun kembali bersenandung. Kah Nanjan menoleh ke arah Kah Rumbun dan, setelah Kah Rumbun balas menoleh, mobil pun segera melaju lebih cepat.

    Tiba-tiba senandung Kah Rumbun terhenti lagi dan tubuh kami terentak ke depan ketika mobil direm mendadak.

    “Babi bangsat!” Kah Rumbun berteriak dan berusaha mengendalikan mobil yang oleng lalu meluncur ke tepi jalan. Tubuh kami terentak ke depan lebih kuat saat mobil terperosok dan berhenti di semak-semak.

    Kami segera saling menanyakan kondisi untuk memastikan semua orang baik-baik saja. Sebagian bersyukur mobil tak menabrak babi hutan yang di desa kami berarti pertanda buruk.

    “Untunglah tidak tertabrak.”

    “Jangan melamun, Kah!”

    “Bukan sampai tujuan, nanti malah sampai kuburan!”

    Kah Rumbun tak menghiraukan omongan beberapa orang dari kami. Dia turun, membungkuk memperhatikan roda mobil, depan dan belakang, melihat ke arah jalan, lalu kembali ke kursinya. Setelah beberapa kali maju mundur, akhirnya mobil kembali melaju di jalan.

    Akan tetapi, baru beberapa menit mobil melaju, tiba-tiba jalan gelap di depan menjadi terang benderang. Sorot lampu tiga mobil yang berderet menutupi jalan menyilaukan pandangan.

    Kami terkesiap, memajukan kepala dan melihat ketiga mobil itu tanpa berkedip dengan degup jantung terpacu.

    “Sudah sampai perbatasan?”

    “Siapa mereka?”

    Tiga siluet pria turun dari mobil yang mengadang di depan dan berlari menuju kami.

    Kah Rumbun mengernyit ke Kah Nanjan. “Siapa mereka?”

    Pertanyaan Kah Rumbun justru membuat hati kami makin digerogoti.

    “Mamut,” jawab Kah Nanjan sambil tersenyum.

    “Bangsat kau!” Kah Rumbun bergegas membuka pintu. Namun, salah seorang pria itu keburu menarik pintu mobil, menyeret Kah Rumbun ke luar dan membekuknya. Satu pria yang lain membantu meringkus dan membawa Kah Rumbun ke mobil mereka.

    “Aduh! Ada apa ini, Kah?”

    “Kenapa Kah Rumbun ditangkap, Kah?”

    “Bagaimana dengan kami?”

    Pertanyaan-pertanyaan histeris meluncur dari mulut kami.

    Tiba-tiba, seraut wajah yang akrab dan menenangkan muncul di jendela sopir.

    “Kah Mamut!” teriak beberapa orang di antara kami serentak.

    “Tetap di tempat, ya, Adik-Adik. Tenang, semuanya baik-baik saja. Syukurlah, kalian selamat dari pembegalan.”

    “Pembegalan?”

    “Jadi, Kah Rumbun itu …?”

    “Pemain liar dan sembrono. Sudah, tak perlu dipikirkan, kalian bersyukur saja.”

    “Astagfirullah ….”

    Ucapan istigfar dan syukur bersahutan memenuhi kabin mobil.

    “Kita perlu berterima kasih kepada Nanjan karena dia sudah membantu menjebak Rumbun,” kata Kah Mamut.

    Setelah selama perjalanan bersikap tak acuh, akhirnya Kah Nanjan tersenyum dan mengangguk ke arah kami. Namun, kami yang tak mengerti benar apa yang terjadi hanya terbengong-bengong, tak seorang pun mengucapkan terima kasih.

    “Bawa, Nan,” kata Kah Mamut sambil menepuk pintu mobil, lalu kembali ke mobilnya.

    Kah Nanjan turun, berpindah ke bagian sopir menggantikan posisi Kah Rumbun. Satu per satu mobil di depan berbalik arah dan mobil kami segera bergerak mengikuti.

    —Selesai—

    ================

    — Naskah Awal —

    Kalau saja kami sanggup mengambil pilihan yang lebih baik, tentu tak akan kami pilih perjalanan malam menembus hutan ini. Kata Kah Mamut, agen yang menawarkan pekerjaan dan mengurus keberangkatan kami, ini jalan tercepat—dan termurah. Kami harus berputar ke kota dan mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar kalau melalui jalur resmi.

    Sudah hampir dua jam kami berjejalan dalam minibus, membelah malam makin ke tengah hutan, seperti kutu yang meluncur di sela-sela rambut. Sudah hampir dua jam juga jarak pandang kami hanya sejauh beberapa meter jalan tanah yang tersorot lampu mobil.

    “Masih lamakah, Kah Rumbun?” tanya seseorang dari kami yang duduk di deretan tengah. Suaranya tercekat, seolah-olah ada yang mengganjal tenggorokannya. Tangannya menggenggam begitu erat ponsel jadul yang layarnya retak. Ada foto bocah perempuan di sana.

    “Masih bisa tidur.” Kah Rumbun, sopir bertubuh tambun itu, menjawab tanpa menoleh.

    “Tidur saja, Yung. Nanti bangun-bangun sudah sampai,” kata perempuan yang duduk di kanan Iyung.

    Iyung tak menyahut. Dia kembali melihat ponselnya dan mengelus-elus wajah bocah di layar ponselnya yang retak dengan telunjuknya.

    “Umur berapa?” tanya perempuan di sebelah lainnya.

    “Empat,” jawab Iyung pelan. Dia menghembuskan napas, lalu menyandarkan kepala dan memejamkan matanya. Perempuan di sebelahnya tak bertanya lagi.

    Sebagian besar dari kami memang tak saling mengenal. Kami baru berkenalan ketika bertemu di titik penjemputan tadi. Itu pun singkat saja, hanya berbasa-basi dengan orang yang pertama kami dekati, lalu sibuk dengan pikiran sendiri.

    Kami berasal dari desa yang berbeda-beda. Saat berkenalan tadi memang ada dua atau tiga orang yang sedesa. Selebihnya tak saling mengenal dengan baik. Bahkan, beberapa detik kemudian kami sudah lupa siapa dari desa mana.

    Mungkin hanya Kah Mamut yang tahu desa asal kami masing-masing. Tapi bisa jadi dia pun sudah lupa. Atau tak peduli. Sudah ratusan perempuan seusia kami yang dia berangkatkan untuk memperbaiki nasib dengan bekerja di negeri tetangga—yang berbatasan dengan bagian utara kabupaten kami. Dan rombongan ini entah gelombang ke berapa yang dia berangkatkan ke utara.

    Sekitar satu jam yang lalu, ketika minibus tua itu tiba di titik kumpul di depan warung tepi desa, si sopir turun dan bilang bahwa mereka adalah orangnya Kah Mamut. Kah Mamut sendiri memang tidak pernah mengantarkan rombongan ke perbatasan.

    “Dia sudah mengurus semuanya supaya kalian lewat tanpa masalah. Ayo, langsung berangkat,” kata si sopir yang kemudian memperkenalkan diri dengan nama Rumbun. Suaranya riang, berkebalikan dengan wajahnya yang berewokan dan jaket kulit hitamnya yang terkesan garang. Berkebalikan juga dengan langit yang makin pekat selepas magrib.

    Kah Rumbun mempersilakan kami naik, tetapi kami malah saling pandang. Salah seorang dari kami, perempuan yang berjilbab kelabu, diam-diam mengirim pesan WA ke Kah Mamut. Pesan centang satu, tapi segera muncul pesan dari nomor tak dikenal:

    “Nnti da yg jmput langsng naik sy tunggu disebrang. Mamut.”

    Si pemilik ponsel menunjukkan pesan itu ke perempuan di sebelahnya. Sebuah pesan lainnya masuk: “nmanya rumbun”.

    Ketika yang lain menoleh ke arah si pemilik ponsel, dia mengangguk. Kah Rumbun tersenyum. Kami pun beranjak menuju mobil.

    Teman Kah Rumbun tak berbicara sepatah kata pun, asyik dengan ponselnya. Dia segera turun dari pintu depan dan membuka pintu geser mobil ketika melihat kami beranjak.

    Kami tak melihat wajahnya dengan jelas karena dia berbalik memunggungi ketika kami masuk satu per satu. Sepertinya hanya perempuan yang duduk di depan yang melihatnya dengan jelas.

    Ketika salah seorang dari kami menanyakan namanya, dia menjawab, “Nanjan.”

    ***

    Mobil masih melaju membelah kegelapan. Entah berapa jarak dari tepi desa ke perbatasan di tengah hutan. Kata Kah Mamut, kami perlu tiga sampai empat jam untuk mencapainya. Berarti sekitar satu hingga dua jam lagi kami baru sampai.

    Sebenarnya, bagi para perempuan kampung seperti kami, berjalan di gelap malam melintasi kebun atau tepi hutan adalah hal yang biasa. Hal yang biasa juga ketika kami merasa ada yang mengintai dari balik dedaunan.

    Namun, berjejalan dalam minibus seperti perjalanan malam itu baru pertama kami lakukan. Rasanya, yang mengintai kami bukan saja entah apa di balik dedaunan, melainkan juga entah apa yang mengadang di depan. Mungkin bukan melulu karena gelapnya. Mungkin juga karena separuh hati kami tertinggal di rumah, sementara kekhawatiran bagaimana nanti nasib di seberang memaksa kami untuk pasrah.

    Tak berapa lama kemudian, lampu mobil menyorot jalan bercabang di depan dan, ketika mobil berbelok ke kanan, Kah Nanjan berteriak, “Kiri! Kiri!”

    “Kenapa?” tanya Kah Rumbun. Mobil melambat dan berhenti.

    “Kita lewat jalur Mr. T.”

    “Oh, iya,” lanjut Kah Rumbun, seperti menyadari sesuatu. Dia segera memarkir mobil untuk berputar arah.

    “Siapa Mr. T? Jalur apa?” tanya perempuan yang duduk di depan, dengan tepat mewakili pertanyaan di kepala para penumpang yang lain.

    “Seperti Mamut,” jawab Kah Rumbun.

    “Tidak bisa lewat jalan tadi?”

    “Ada jalurnya sendiri-sendiri. Supaya tertib.”

    “Kalau yang ini, jalurnya Kah Mamut?”

    “Yes! Ini jalurnya Kaaah Maaamot! Ha-ha-ha!”

    Entah kenapa nada berbicara Kah Rumbun dibuat-buat begitu dan entah apa yang lucu sehingga dia tertawa. Kami baru mendengar bahwa jalan di tengah hutan ada pembagian jalurnya.

    Mungkin untuk mengusir kejenuhan, Kah Rumbun mulai bersenandung sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya di roda setir. Entah lagu apa yang dia senandungkan. Namun, kalaupun kami tahu lagu yang disenandungkannya, tak ada minat lagi untuk ikut bersenandung—bahkan di dalam hati. Kami sudah keburu lelah. Sebagian malah sudah terkantuk-kantuk tadi.

    Senandung Kah Rumbun terhenti dan mobil melambat, lalu terguncang-guncang di atas jalanan rusak. Penumpang yang terkantuk-kantuk tak jadi tidur dan sebagian mulai bersuara lagi.

    “Kah Rumbun, kita pasti sampai ke sana, bukan?”

    “Ini benar jalur Kah Mamut, bukan?”

    “Kenapa memilih jalan yang rusak begini, Kah?”

    Kali ini Kah Rumbun tak menjawab. Mestinya memang kami tak banyak bertanya. Kah Mamut dikenal sebagai agen yang tak pernah meleset. Bukankah reputasi Kah Mamut yang membuat kami mempercayai jalan mengubah nasib yang ditawarkannya? Lagi pula, kami mestinya sadar bahwa biaya yang kami bayar memang harga untuk melalui jalur pintas di tengah hutan ini.

    Setelah beberapa lama terguncang-guncang hingga membuat perut mual, mobil kembali melaju. Kah Rumbun kembali bersenandung. Kah Nanjan menoleh ke arah Kah Rumbun dan, setelah Kah Rumbun balas menoleh, mobil pun segera melaju lebih cepat.

    Tiba-tiba senandung Kah Rumbun terhenti lagi dan tubuh kami terentak ke depan ketika mobil direm mendadak.

    “Babi bangsat!” Kah Rumbun berteriak dan berusaha mengendalikan mobil yang oleng lalu meluncur ke tepi jalan. Semua penumpang terentak ke depan lebih kuat saat mobil terperosok dan berhenti di semak-semak.

    Kami segera saling menanyakan kondisi untuk memastikan semua orang baik-baik saja. Sebagian bersyukur mobil tak menabrak babi hutan yang di desa kami berarti pertanda buruk.

    “Untunglah tidak tertabrak.”

    “Jangan melamun, Kah!”

    “Bukan sampai tujuan, nanti malah sampai kuburan!”

    Kah Rumbun tak menghiraukan omongan para penumpang. Dia turun, membungkuk memperhatikan roda mobil, depan dan belakang, melihat ke arah jalan, lalu kembali ke kursinya. Setelah beberapa kali maju mundur, akhirnya mobil kembali melaju di jalan.

    Akan tetapi, baru beberapa menit mobil melaju, tiba-tiba jalan gelap di depan menjadi terang benderang. Sorot lampu tiga mobil yang berderet menutupi jalan menyilaukan pandangan.

    Kami terkesiap, memajukan kepala dan melihat ketiga mobil itu tanpa berkedip dengan degup jantung terpacu.

    “Sudah sampai perbatasan?”

    “Siapa mereka?”

    Tiga siluet pria turun dari mobil yang mengadang di depan dan berlari menuju kami.

    Kah Rumbun mengernyit ke Kah Nanjan. “Siapa mereka?”

    Pertanyaan Kah Rumbun justru membuat hati kami makin digerogoti.

    “Mamut,” jawab Kah Nanjan sambil tersenyum.

    “Bangsat kau!” Kah Rumbun bergegas membuka pintu. Namun, salah seorang pria itu keburu menarik pintu mobil, menyeret Kah Rumbun ke luar dan membekuknya. Satu pria yang lain membantu meringkus dan membawa Kah Rumbun ke mobil mereka.

    “Aduh! Ada apa ini, Kah?”

    “Kenapa Kah Rumbun ditangkap, Kah?”

    “Bagaimana dengan kami?”

    Pertanyaan-pertanyaan histeris meluncur dari mulut penumpang.

    Tiba-tiba, seraut wajah yang akrab dan menenangkan muncul di jendela sopir.

    “Kah Mamut!” teriak beberapa penumpang serentak.

    “Tetap di tempat, ya, Adik-Adik. Tenang, semuanya baik-baik saja. Syukurlah, kalian selamat dari pembegalan.”

    “Pembegalan?”

    “Jadi, Kah Rumbun itu …?”

    “Pemain liar dan sembrono. Sudah, tak perlu dipikirkan, kalian bersyukur saja.”

    “Astagfirullah ….”

    Ucapan istigfar dan syukur bersahutan dari seluruh penumpang.

    “Kita perlu berterima kasih kepada Nanjan karena dia sudah membantu menjebak Rumbun,” kata Kah Mamut.

    Setelah selama perjalanan bersikap tak acuh, akhirnya Kah Nanjan tersenyum dan mengangguk ke arah kami. Namun, kami yang tak mengerti benar apa yang terjadi hanya terbengong-bengong, tak seorang pun mengucapkan terima kasih.

    “Bawa, Nan,” kata Kah Mamut sambil menepuk pintu mobil, lalu kembali ke mobilnya.

    Kah Nanjan turun, berpindah ke bagian sopir menggantikan posisi Kah Rumbun. Satu per satu mobil di depan berbalik arah dan mobil kami segera bergerak mengikuti.

    Bagikan Facebook Twitter WhatsApp Telegram Email Copy Link
    Tulisan SebelumnyaJawara Debus
    Tulisan Berikutnya Bianca Grechi and The Lost City of Gold

    Artikel Terkait

    7.0
    #MdAFeb2025

    Tiada Lagi Kabut di Kampung Ndat

    25 Feb 2025
    6.1
    #MdAFeb2025

    Rahasia Permata Amethyst Ungu

    25 Feb 2025
    7.0
    #MdAFeb2025

    Kisah Iblis yang Patah Hati

    24 Feb 2025

    Kuot Hari Ini

    Waktu terbaik untuk merancang buku adalah saat mencuci piring.Agatha Christie
    » kuot lainnya (random)
    Terpopuler
    #MdAFeb2025

    Tiada Lagi Kabut di Kampung Ndat

    Lanang IrawanLanang Irawan25 Feb 2025
    Kesalahan Berbahasa

    5 Kesalahan Pemakaian Huruf Kapital yang Harus Kamu Hindari

    TerasquTerasqu1 Okt 2024
    Penulisan Kreatif

    Panduan Umum Penulisan Kreatif: 10 Unsur Penting yang Harus Diketahui Setiap Penulis

    TerasquTerasqu24 Sep 2024
    #MdAFeb2025

    Kisah Iblis yang Patah Hati

    Lia NameeraLia Nameera24 Feb 2025
    #MdAFeb2025

    Harta Karun di Pemukiman Lebak Jero

    Hendra WigunaHendra Wiguna24 Feb 2025
    Terbaru
    7.0
    #MdAFeb2025

    Tiada Lagi Kabut di Kampung Ndat

    Lanang IrawanLanang Irawan25 Feb 2025

    Demi cacing dan tikus yang ia bunuh, seharusnya Ndat tidak pergi. Biarkan saja kampungnya lebur…

    6.1

    Rahasia Permata Amethyst Ungu

    25 Feb 2025
    7.0

    Kisah Iblis yang Patah Hati

    24 Feb 2025
    6.8

    Harta Karun di Pemukiman Lebak Jero

    24 Feb 2025
    6.6

    SEMBUNYI

    24 Feb 2025
    Terasqu
    Facebook Instagram WhatsApp
    • Tentang Kami
    • Kontak Kami
    • Syarat & Ketentuan
    • Kebijakan Privasi
    • Penyangkalan
    © 2025 Terasqu.com

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.