Nun, suatu hari di tahun 1936 di sebuah desa kecil di Banyumas, Jawa Tengah, suasana terlihat lengang seperti biasa. Sedikit yang tahu bahwa di desa itu hiduplah para penyintas aksi pemberontakan PKI yang terjadi satu dekade sebelumnya. Tragedi itu menumpahkan banyak darah meski tak semuanya tercatat dalam sejarah. Dua orang anak—laki-laki dan perempuan—ini adalah bagian dari mereka yang masih diberi kesempatan untuk memeluk tubuh kehidupan.
“Sembunyi di mana, sih, kamu?! Ah!” Gadis kecil itu melongok ke kanan dan ke kiri sambil memanyunkan bibir. Wajahnya serius, napasnya bernada jengkel. “Mana makin sore lagi,” keluhnya dengan kekesalan berlipat ganda. Dia mencoba meneriakkan nama temannya sekali lagi tapi langit segera menelan suara itu untuk digantikan dengan kesiur angin lalu.
Gadis kecil itu mendengus frustasi karena tak bisa menemukan di mana temannya bersembunyi. Ujung bibirnya meruncing. Dia berjalan lemas hingga ujung desa.
Di depannya kini berdiri sebuah rumah milik orang Belanda yang ditinggalkan pemiliknya. Lokasi rumah itu terpisah jauh dari pemukiman warga. Hari sudah hampir gelap. Gadis kecil itu hanya berani mengintip sampai di pintu gerbangnya saja. Dua tiang raksasa penopang gedung itu diam mengawasinya.
Ini adalah usaha terakhirnya. Sayang, semuanya nihil. Sekarang dia memutuskan untuk menyerah dalam kejengkelan yang membuncah. Di dalam hatinya dia marah. Dia yakin temannya sengaja meninggalkannya. Anak perempuan kelas lima SD itu lantas menghentakkan kakinya yang putih dan jenjang ke tanah keras-keras, kesal! Dia bersumpah untuk tidak bicara dengan temannya itu lagi.

Malam datang lambat-lambat. Gadis kecil berbadan bongsor dengan wajah campuran itu tiba di rumahnya. Dia beranjak ke kamar tidur sehabis mandi dan makan bersama neneknya yang tak pernah banyak bicara. Maka hening pun menjadi penghuni ketiga di rumah itu selain mereka berdua.
Nenek itu adalah penghuni tertua di desa. Konon, beliau menyaksikan sendiri huru-hara pemberontakan PKI yang memakan banyak korban di masa lalu: tahun 1926 yang suram itu. Nenek itu berhasil selamat berkat masuk ke dalam lubang galian tanah yang dibuat di belakang rumah sebagai tempat persembunyian darurat.
*
Nenek itu meringkuk seorang diri di antara kegelapan dan hawa lembab khas musim penghujan di pedesaan. Beberapa ekor cacing tanah turut hadir menemaninya di sana. Suara teriakan demi teriakan dari dalam rumah yang disusul bunyi barang-barang jatuh—yang lebih terdengar seperti dibanting—membuat tubuhnya bergidik hebat. Dia menahan napas. Jantungnya nyaris lepas.
Setelah bentakan kasar yang bertubi-tubi, tibalah kekacauan itu di puncaknya. Satu lolongan kesakitan nan panjang menyayat-nyayat udara. Itulah suara suaminya. Ya, dia tahu pasti apa yang baru saja terjadi. Namun, nenek itu hanya bisa menangis di dalam sunyi. Dia tahu bahwa setelah ini dia akan hidup sendiri.
Sejak kepergian sang suami setelah didatangi serombongan orang-orang yang diduga kiri, nenek itu jadi sulit berbicara hingga hari ini. Suaminya termasuk orang yang dituakan di desa. Beliau berelasi cukup erat dengan lingkar pertemanan para Wedana. Apesnya, para Wedana termasuk target incaran utama yang kerap dihilangkan paksa.
Suara keributan sudah tak terdengar lagi. Nenek itu mencoba melongokkan kepalanya ke atas permukaan tanah. Air matanya mengering sudah. Dia memindai sekeliling dengan sangat hati-hati. Nenek itu memastikan rombongan orang-orang tadi telah pergi. “Cepat sekali mereka,” batinnya dengan perasaan lega yang bercampur pahitnya duka. Keluarlah dia dari lubang persembunyiannya.
Baru saja hendak memasuki pintu rumah, tiba-tiba terdengar lagi bunyi langkah kaki dari kejauhan. Alih-alih kembali ke lubang persembunyian, nenek itu melangkah menembus pekat malam ke arah sungai. Dia yakin di sana aman. Selain gelap, sungai di desa itu terkenal angker.
Pelan-pelan dia berjalan menuruni setapak yang curam dengan bertelanjang kaki. Katak sungai menyambutnya datang dengan nyanyian sumbang. Hawa suram melekat pekat di udara malam. Namun, tak ada rasa takut setitik pun dalam dirinya. Nenek itu telah begitu akrab dengan tanah kandungnya. Pun dengan sepi dalam perwujudannya yang kerap berganti rupa.
Di sungai itu dia berdiam menunggu. Di tengah dinginnya udara, sebuah suara halus samar-samar terdengar menembus deras aliran sungai. Nenek itu menajamkan telinga. Malam semakin dingin dan langit masih saja mengantarkan mendung-mendung yang menggantung setelah tak bosan-bosannya mengirimkan hujan seharian.
Gemericik aliran air sungai ditambah bunyi dersik daun bambu yang tak habis-habisnya membuat nenek itu meragukan pendengarannya sendiri. Namun masih saja suara itu datang lagi, lagi, lagi. “Ah, tidak mungkin. Itu pasti suara demit penunggu sungai,” batinnya seraya melangkah pergi.
Nenek itu mulai menaiki tebing yang ditumbuhi aneka vegetasi: pisang, ketela, kelapa, mahoni, dan jati. Dia sudah hampir lupa pada suara tadi hingga tiba-tiba suara itu kembali memekik tingggi. Kali ini ia melengking hebat sekali. “Tangisan bayi. Benar. Itu suara tangisan bayi. Tidak salah lagi,” batinnya terkejut. Nenek itu turun kembali untuk mencari titik sumber suara.
Selimut malam kian pekat, suara itu kian dekat. Nenek itu sontak terhenyak menyaksikan apa yang baru saja dilihatnya. Seorang bayi tergeletak bersama seorang perempuan muda, mungkin usianya masih 20-an. Perempuan itu terpejam dengan kulit pucat membiru. Nenek itu meraba nadinya, memeriksa denyut jantung dan embusan napasnya. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang tersisa.
Bayi itu tidak tampak seperti pribumi. Dia terdiam di atas raga yang rebah bersimbah darah. Jelas untuk berteriak ia sudah terlalu lelah. Nenek itu yakin mereka adalah salah satu korban pemberontakan di hari itu. Beliau segera mengambil sang bayi dan berjalan pulang ke rumahnya. Perihal mayat wanita pribumi itu, beliau akan melimpahkannya pada warga.
*
Matahari belum terbit, tapi ayam-ayam di sana telah begitu ramai berdendang. Gadis kecil kelas lima SD berperawakan tinggi itu membuka matanya. “Ah, mimpi itu lagi. Kenapa, sih, aku mimpiin hal yang sama terus berkali-kali,” tanyanya pada udara pagi. Hening. Tak ada jawaban. Gadis kecil itu pun mulai resah. Dia ingin sekali menceritakan segala berisik di kepalanya tapi tak tahu harus ke mana. Akhirnya gadis kecil itu hanya berjalan tanpa tujuan. Barangkali dia bisa sedikit bercerita pada kawanan burung kuntul yang ditemukannya di persawahan.
“Lho, kamu, kok, tahu aku lagi di sini?” tanya teman laki-laki yang sudah membuatnya kesal tempo hari. Gadis kecil itu tak menyangka akan bertemu dengan cara seperti ini di sini.
“A-aku cuma lagi jalan-jalan. Mana aku tahu kamu ada di sini. Ka-kamu ngapain jongkok di situ kayak gitu?” tanya si gadis tak acuh. Tak lama keduanya pun mulai mengobrol dengan akrab seolah tak pernah ada kemarahan di hari kemarin.
“Kenapa? Muka kamu gitu terus dari tadi. Mikirin apa?” Lelaki kecil yang beranjak remaja itu penasaran. Gadis kecil itu pun menceritakan semua yang dialaminya akhir-akhir ini tanpa ditutup-tutupi lagi, termasuk apa yang terjadi di alam mimpi.
“Di mimpi itu aku selalu melihat orang yang sama. Aku juga selalu disuruh cari kotak kayu berukir di dalam rumah kosong yang ada di ujung desa sana. Tapi … aku enggak berani masuk ke sana sendirian,” ucap si gadis setengah merajuk. Dia melirik teman laki-lakinya sekilas pandang.
Laki-laki kecil itu menaikkan sebelah alisnya. “Ya, sudah. Aku temani. Enggak usah takut. Yuk! Keburu siang!” ucap laki-laki kecil itu singkat tapi pasti. Sebenarnya sudah sejak lama dia mengamati temannya yang cantik itu.
“Beneran ditemenin? Sekarang? Ah, kemarin saja kamu ninggalin aku sendirian pas main petak umpet,” ucap gadis kecil itu ketus sembari membuang muka. Laki-laki kecil itu terkekeh. “Aku enggak ninggalin. Aku lihatin kamu dari jauh sampai kamu pulang ke rumah dengan aman. Maaf kalau aku bikin kamu takut,” pungkasnya dengan suara yang tetap tenang.
Gadis kecil itu melipat bibir dan menahan senyuman yang hampir saja terlepas. Dalam hatinya, gadis kecil itu tersipu dan berbunga-bunga mendengar penjelasan temannya. Dia senang saat mengetahui bahwa dia tidak pernah ditinggalkan.
“Heh! Malah bengong. Ayo ke tempat yang kamu bilang tadi,” kata si laki-laki kecil menyadarkan lamunan gadis itu.
Mereka berdua segera bangkit dari saung bambu yang berdiri di tengah persawahan itu. Seekor katak melompat panik setelah kaki gadis kecil itu menyenggolnya dengan tidak sengaja. Gadis kecil itu senang karena pencarian harta karun akan segera dimulai.
“Nanti kita bareng terus, ya. Kata orang di mimpi aku, harta karun itu ada di kotak kayu di bawah dipan di kamar tengah di rumah orang Belanda itu,” pinta gadis kecil itu.
“Iya. Tenang,” laki-laki kecil itu menjawab singkat sambil mengacungkan jempolnya.
Mereka berjalan beriringan sampai ke ujung desa, tempat di mana rumah itu berada. Pintu besi yang sedikit berkarat itu seperti mengucapkan selamat datang dengan deritnya yang dingin. Pohon ilalang tumbuh subur dimana-mana, berlenggak-lenggok tertiup angin dari utara. Lalu tibalah sepasang anak kecil itu di depan pintu utama. Laki-laki kecil itu membukanya, menghasilkan suara berderit yang tidak enak di telinga. Aroma rumah tua menyapa, membuat keduanya bergidik tiba-tiba.
Gadis kecil itu mengikuti di belakang temannya. Tampaklah pintu kedua. Mereka membukanya untuk menemukan kamar yang dimaksud. Derit yang sama terdengar lagi. Rumah ini ternyata sangat bagus dan kokoh. Mereka mengamati setiap sudut ruangan dengan takjub hingga nyaris lupa pada tujuan awalnya.
“Kamarnya yang mana?” tanya laki-laki kecil itu setengah berbisik. Gadis kecil itu kemudian mengamati sekeliling sekali lagi, mencocokkan gambar di kepalanya dengan pemandangan di depannya. Setelah beberapa saat, keduanya membuka pintu kamar yang paling besar di sana. Seperti sebelumnya, pintu berderit nyaring. Seekor kelelawar merangsek keluar dari celah pintu. Laki-laki kecil itu melompat mundur, menabrak temannya tiba-tiba. Mereka pun terjatuh berkalang debu bersama-sama.
“Di dalam situ,” bisik gadis kecil itu sambil meringis kesakitan, “kita masuk, nih? Aku … takut,” ucap gadis kecil itu tak yakin. Lelaki kecil itu menatap temannya dengan tatapan pasti. Dia berjalan di depan, memegang handel pintu lalu mendorongnya pelan. Derit pintu menggema, mengisi penuh kekosongan di sana.
Gadis kecil itu sontak terbelalak. Napasnya tersengal. Kedua tangannya membekap mulut seketika. Dia mundur beberapa langkah. Sedangkan lelaki kecil itu berdiri mematung dalam kebingungan.
“Ada apa?” bisiknya pelan, “kamu tenang dulu.” Gadis kecil itu lantas menatap wajah temannya dan berkata, “I-ini sama dengan yang aku lihat di mimpiku,” ucapnya dengan bibir bergetar. Matanya mengamati seluruh isi ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada ranjang di sudut kamar, tepat di bawah jendela. Harta karun itu tersimpan di dalam sana.
Tanpa sadar rasa gugup membuat gadis kecil itu meraih telapak tangan temannya. Dia meremasnya erat-erat. Laki-laki kecil itu sedikit terkesiap untuk beberapa saat. Dia lantas menoleh dan mengangguk kepada gadis kecil itu sebagai isyarat. Gadis kecil itu pun melangkah mendekati sebuah kotak yang menempel di sisi kanan ranjang, tepat di sudutnya. Aroma debu menguar begitu pekat. Sesekali mereka terbatuk-batuk ketika debu-debu itu menyeruak ke udara.
Penutupnya berhasil terbuka. Gadis kecil itu mengambil kotak kayu kecil di dalamnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Di dalam ruangan berdebu itu kepingan hidup seorang anak manusia akhirnya kembali terbuka. Mereka berdua menatap sebuah foto wanita muda yang tengah menggendong seorang bayi perempuan bersama seorang Belanda.
Laki-laki kecil itu semakin bingung mendapati temannya mulai menitikkan air mata. Dia tak tahu harus melakukan apa. Dia hanya tahu bahwa ibunya selalu memeluknya setiap kali dia menangis. Maka laki-laki kecil itu mulai merangkul pundak temannya, memeluknya sampai tangisnya reda.
“Ayo kita pulang sekarang. Aku mau menemui nenek. Ada yang perlu aku tanyakan soal foto ini ke nenek.” Gadis kecil itu menyeka air matanya. Keduanya pergi setelah menutup semua pintu di rumah itu seperti semula.
Setibanya di rumah, Nenek sedang menyapu daun-daun gugur yang berserakan memenuhi halaman. Gadis kecil itu menghampirinya dan mengajaknya masuk. Dia sudah tak sabar untuk segera menceritakan semua yang dialaminya hari itu.
Gadis kecil itu menyodorkan kotak yang dibawanya dari rumah kosong di ujung desa. Nenek itu mengernyitkan dahinya yang keriput. “A-apa i-ni?” tanya sang nenek tergagap. Gadis kecil itu kemudian menceritakan perihal mimpi-mimpi aneh yang membawanya pergi ke rumah itu dan menemukan harta karun yang sekarang ada di hadapannya.
“Nek, apa nenek tahu mereka ini siapa? Orang di foto ini terus-menerus muncul di mimpiku,” tanya gadis kecil itu lugu sambil menunjuk wajah di foto itu. Sang nenek lantas mengambil foto itu dari kotaknya. Dia mengamatinya sebelum terdiam kaku di tempatnya. Matanya terbelalak dan gadis kecil itu memandang dengan penuh tanya.
Degup jantungnya bertalu seiring ingatan demi ingatan yang mendadak berkelebatan di kepalanya. Nenek itu tidak akan pernah lupa. Wanita di foto itu adalah wanita yang tewas di sungai sepuluh tahun silam. Jika pria Belanda di sebelahnya adalah suaminya, maka … ibu gadis kecil itu adalah seorang … Nyai. Seketika bibirnya terkunci.
“Nek …?” Dalam pelan suaranya, gadis kecil itu meminta jawaban. Sementara nenek itu sibuk berperang batin tak berkesudahan. Akhirnya, bungkamnya adalah jawaban. Dibiarkannya kebenaran itu tetap seperti semula: menjadi sebuah rahasia.
Banyumas, 23 Februari 2025
Catatan kaki
PKI : Partai Komunis Indonesia
Wedana : pembantu pimpinan wilayah Daerah Tingkat II (kabupaten), membawahkan beberapa camat; pembantu bupati
Nyai : gundik orang asing (terutama orang Eropa)
Rahasia
-
Orisinalitas
-
Peran Arahan
-
Alur Cerita
-
Gaya Bahasa
-
Penulisan