Pada suatu malam buta, ketika lembap menyelimuti rumah-rumah dan gang yang jalannya berlumut, Utami dibangunkan oleh ketukan pintu depan—berulang dan bernada. Dengan terhuyung ia berjalan menuju pintu, lalu memutar kunci yang menggantung di sana.
Pintu terkuak. Dingin menerjang. Utami berdiri di ambang pintu, mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman rumah, dan ia tidak melihat siapa pun; hanya pohon kelengkeng yang berdiri tenang, menaungi wadah-wadah plastik berisikan air dan bunga, bekas mainan anak-anak. Ayunan dari ban mobil menggantung di pohon.
Utami berjongkok, memungut sebuah kertas yang dilipat menjadi dua di bawah kakinya. Ia membuka surat telanjang itu. Pandangannya terpaku pada kalimat yang ditulis dengan spidol hitam: “Berikutnya anakmu yang celaka.”
Dengan tangan gemetar Utami meremas kertas itu, lalu melemparnya ke tempat sampah yang mendiami sudut teras. Ia lantas menutup pintu dengan kasar dan menguncinya kembali. Perempuan itu menghempaskan tubuh di sofa dan mulai menyalakan sebatang rokok. Dalam remang cahaya yang berasal dari kamar, ditemani detak jam dinding yang menggantung di samping kalender, ia mengisap rokok itu dengan khidmat. Sesekali ia melongok ke kamar, memandangi tubuh anaknya yang meringkuk seperti udang di balik selimut.
Asap rokok menari-nari. Utami kembali menyulut sebatang lagi. Lagi dan lagi. Segelas kopi telah tandas. Malam telah terlewati, berganti dini hari. Perempuan itu perlahan tertidur di sofa.
Ia terbangun karena jeritan kucing. Tik tok tik tok. Jam dinding menunjukkan pukul tiga. Baru setengah jam matanya terpejam dan ia harus kembali bangkit untuk keluar.

“Kucing sialan! Minta mampus ternyata! Akan ku gantung kalau ketangkap!”
Dua kucing terbirit-birit setelah Utami melempar sapu ke arah mereka. Perempuan itu kembali masuk, dan mendapati putrinya berdiri di ambang pintu kamar. Bocah itu haus, katanya.
Utami berjalan gontai ke dapur untuk mengambil air putih. Selepas minum, anaknya enggan tidur kembali. Anak itu bilang, ia memimpikan Lilis—teman bermainnya—yang dua hari lalu mati karena hanyut di sungai.
Utami kemudian menuntun putrinya ke kamar, menemaninya tidur, tetapi mata si anak benar-benar tidak juga terpejam. Bocah itu minta dibacakan cerita, tetapi Utami menolak dengan alasan lelah. Pada akhirnya, gadis kecil itu mengoceh, membuat kepala Utami berdenyut.
“Apakah besok Mama bisa libur?”
“Kalau main tanpa Lilis, nggak seru, nggak ada yang berani melawan Paman Pram waktu marah. Aku juga takut Paman Pram akan memotong tanganku.”
Utami memijat pelipis. Matanya mencoba ia pejamkan, tetapi suara putrinya seakan bom yang bisa menghancurkan batok kepalanya.
“Kalau nggak ada Lilis, aku nggak berani mengambil anak-anak kucing itu sendirian.”
Utami diam. Tapi, lama-lama ia tidak tahan.
“Diamlah!”
Ruangan hening. Detak jarum jam menguasai. Suara cicak turut andil. Dari kejauhan terdengar ayam berkokok. Utami menguap, lalu perlahan tertidur di samping si anak.
Utami terbangun dengan keadaan kepala berat. Yang ia cari pertama kali ialah putrinya, yang ternyata masih lelap di sampingnya.
Seperti pada pagi-pagi sebelumnya, Utami memulai rutinitas. Setelah mengantar anaknya ke sekolah, ia membersihkan halaman dan teras sambil mengomel saat aroma tahi kucing menusuk penciumannya. Kemudian ia meninggalkan rumah menuju tempatnya bekerja. Dan, barulah ia teringat perihal kertas yang ditemukannya semalam. Seketika, kecemasan menyerbunya.
Ketakutan yang menyerang Utami makin menggila saat perempuan itu turun dari motornya sepulang bekerja. Sore yang mendung menggenapi kekalutan yang ia rasakan. Seikat rambut menggantung di samping ayunan ban, menari-nari didorong angin.
Utami mengenal ikat rambut yang melilit rambut lurus itu. Apakah putrinya memotong rambutnya sendiri? Lalu, siapa yang mengikatkan tali rafia pada ranting pohon kelengkeng itu? Anak gadisnya tidak mungkin bisa memanjat!
Perempuan itu mendorong pintu yang masih terkunci, pertanda sang anak belum pulang dari rumah bibinya. Ia membuka pintu dengan kasar, dan mendapati kesunyian belaka.
Ia memutuskan ke rumah kakak iparnya, tempat anaknya dititipkan setelah pulang sekolah. Jawaban sang kakak ipar seakan melemparnya ke jurang.
“Tadi gurunya bilang, Kia udah dijemput lebih awal karena mau ke dokter gigi. Kukira kamu yang menjemputnya, dan lupa mengabariku. Biasanya hari Sabtu kamu, kan, ijin.”
Utami berlari pulang, kemudian mengirimkan pesan kepada wali kelas anaknya. Jawaban guru itu menghantam dada Utami.
“Tadi Kia dijemput pakdenya lebih awal, Bunda. Bilangnya, Bunda sedang menunggu di luar gerbang.”
Pakdhe? Pakdhe siapa? Suami kakak iparnya merantau dan anaknya tidak pernah terlihat akrab dengan orang-orang dewasa. Utami merasakan tubuhnya berguncang. Tangannya mengetik balasan, menanyakan ciri-ciri lelaki yang disebut ‘pakdhe’, dengan gemetar.
Lelaki pendek, berambut cepak, berusia kisaran 40 tahun, tidak kurus tidak gemuk, kulit cokelat gelap. Otak Utami buntu.
Perempuan itu mendatangi rumah para tetangga, menanyakan keberadaan anaknya. Hingga gulita datang, ia belum mendapatkan jawaban. Malahan, ada beberapa wajah yang memancarkan kelegaan, terutama orang tua Lilis.
Berlari ia ke sungai yang tak jauh dari tempat pembuangan sampah, sungai yang menghanyutkan anak tetangganya. Yang ia dapati hanya arus air yang suaranya seolah-olah mampu membekapnya.
Perempuan itu lalu berjalan pulang dengan langkah gontai sambil menenteng sepatu hak tingginya, melewati jalan beton selebar satu meter. Rintik-rintik hujan mulai jatuh. Ia mempercepat langkah, dan ketika sampai di rumah, ia kembali memanggil nama anaknya, memeriksa ke seluruh penjuru ruangan. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan bocah itu.
Ia mulai mengorek ingatannya saat bersama sang anak, berusaha menemukan petunjuk setelah mengirim pesan kepada kakak iparnya untuk meminta bantuan. Ujung telunjuknya menepuk-nepuk kepala, memaksa benaknya mengingat segala kalimat yang pernah diucapkan anaknya: Lilis; anak kucing; Paman Pram; tangan yang akan dipotong.
Utami bangkit dari duduk, lalu keluar rumah, masih mengenakan busana kerja: kemeja putih dan rok span. Sejenak ia berdiri di teras, menatap lekat dinding berlumut setinggi lima meter yang membentengi sebuah rumah besar, yang berdiri persis di seberang halaman rumahnya. Rumah besar itu rumah Paman Pram.
Utami harus memutar, menelusuri gang untuk sampai di depan rumah Paman Pram. Rumah itu menghadap ke jalan raya. Di sampingnya adalah gang. Di sisi gang itu berdiri tujuh rumah, sementara rumah dan pekarangan Paman Pram memanjang hingga ujung gang. Rumah besar itu hanya dihuni oleh dua orang. Semua asisten rumah tangga maupun tukang kebun tidak ada yang menginap di sana.
Utami berdiri di luar gerbang. Tangan kirinya mencengkeram gagang payung, dan tangan satunya menekan bel berulang, tanpa jeda. Sesekali ia mengintip ke dalam dari celah pagar. Detik-detik terasa lama. Ia kembali menekan bel dengan kuat-kuat.
Benaknya digelayuti pertanyaan-pertanyaan. Mungkinkah putrinya ke rumah Paman Pram? Rumah itu selalu ditutup. Kalaupun anak itu di sana, apa yang dilakukannya? Tidak ada anak
kecil di rumah Paman Pram. Atau mungkin keponakannya datang, ada ulang tahun? Bisa saja anak itu diundang ke sana untuk sebuah acara, misalnya. Apalagi, ibu Paman Pram kerap berbagi makanan kepada tetangga.
Pintu gerbang berderik-derik sebelum akhirnya terbuka. Seorang pria berpostur tinggi dengan kaus putih dan celana selutut berdiri sambil membawa payung.
Utami mengangguk sekilas sebelum akhirnya mengumumkan perihal kedatangannya dengan suara lemah. Pria di hadapannya mengernyit, lalu menimpali, “Tidak ada anak-anak ke sini hari ini. Biasanya mereka menyelinap lewat pintu belakang yang langsung tembus kebun untuk mengambil anak-anak kucing.”
Raut wajah Utami tampak muram. Ia baru saja akan pergi, tetapi pria yang selalu dipanggil Paman Pram memintanya masuk. Mereka akhirnya duduk di teras, ditemani dua cangkir teh yang dihidangkan oleh tukang kebun yang kebetulan belum pulang.
“Aku sering memergoki mereka di kebun. Biasanya aku mengancam, ‘Kalian buat mainan anak kucing itu lagi, aku potong tangan kalian!’. Ibu yang suka rewel kalau kucing-kucingnya dibuat mainan.”
“Jadi, hari ini tidak ada yang ke sini, ya?”
“Sejak… kejadian itu, anak-anak tidak ke sini. Atau coba aku tanyakan kepada tukang kebun. Dia sering mondar-mandir lewat untuk buang sampah, siapa tahu dia melihat putrimu.”
Utami menanti. Matanya menjelajahi halaman rumah yang luas. Hamparan paving bersih tanpa sehelai daun jatuh ataupun rumput tumbuh. Padahal, sekelilingnya berjejer pohon manggis.
Tak lama kemudian si tukang kebun muncul. Wajahnya terlihat lelah dan sedikit basah. Tanpa basa-basi ia menyampaikan jawaban untuk Utami, singkat, “Maaf, Mbak. Saya tidak tahu.”
Selanjutnya perempuan itu memilih berpamitan pergi tanpa menyentuh teh yang dihidangkan untuknya. Ia menyeret langkahnya menuju gerbang, dan di tepi jalan, di bawah payung, air matanya turun, berlomba dengan hujan.
Pengumuman anak hilang sudah disebar di media sosial. Yang Utami lakukan hanya menunggu, duduk termenung di sofa. Kadang ia melempar pandangan ke pintu, berharap anaknya mengetuk pintu itu sambil memanggilnya. Namun, hanya ada keheningan.
Ia masih terkantuk-kantuk di sofa saat jam menunjukkan pukul 23:00. Ketukan pintu menyentaknya. Seketika ia bangkit dan menuju pintu, menarik gagangnya dengan kuat. Sialnya, ia tidak melihat siapa pun selain kotak kardus yang berada persis di depan pintu.
Dengan ragu-ragu ia menyentuh kardus seukuran kotak makan itu. Penutup kardusnya dikunci dengan selotip. Ia membuka rekatannya, lalu berhenti sejenak, sebelum menyibak penutup kardus itu sepelan gerakan kungkang.
Utami mengambil gulungan kertas dari dalam kardus, dan matanya melebar saat menyaksikan sesuatu di dalamnya. Ia melempar kertas dan isinya asal. Tubuhnya sampai terjengkang.
Jari kelingking kecil itu dilumuri darah kering. Utami tidak berani menebak, atau barangkali ia memilih mengingkari tentang siapa pemilik kelingking itu. Seketika tubuhnya lunglai. Ia terisak sampai terasa sesak dan sulit bernapas.
Ia seperti mati sesaat. Setelah tersadar dari linglung, ia meraih kertas yang membungkus potongan kelingking kecil itu. Ia mengeja setiap kata yang tertulis pada kertas: “Jika kau melapor polisi, anakmu mati.”
Bergegas perempuan itu masuk ke rumah dan mencari ponselnya. Namun, ia hanya menatap layar yang menampilkan beberapa kontak, termasuk nomor kakak iparnya, tidak berani menghubungi siapa-siapa.
Anakmu mati. Anakmu mati.
o
Berarti anak itu kini masih hidup, pikir Utami, merasa ngeri sendiri saat teringat pada sepotong kelingking yang diterimanya. Ia mondar-mandir di dalam rumah sepanjang malam tanpa henti. Sesekali ia duduk, tapi tubuhnya bergetar. Kadangkala ia mengecek ponsel, berharap seseorang mengabarkan keberadaan sang anak.
Bunyi tokek dari kejauhan memecah sunyi. Waktu merambat amat lambat. Jam baru menunjukkan pukul satu. Utami kembali mondar-mandir, berikutnya keluar rumah. Matanya menyapu sekeliling. Kardus dan potongan kelingking masih tergolek di teras. Rambut putrinya yang digantung masih berayun-ayun pada tali rafia.
Ia berjalan berkeliling, melihat-lihat tiap sekat antara rumah satu dengan rumah yang lain. Seekor tikus kabur saat perempuan itu menyorotkan senter ponsel ke tumpukan kayu di samping rumah tetangganya. Ia sangat berharap melihat putrinya bersembunyi, ketiduran saat main petak umpet. Namun, tiap sudut yang ia periksa tidak satu pun meninggalkan jejak anak itu.
Utami memilih pulang dan langsung memeriksa kamar, menyibak selimut, memanggil anaknya. Sepi menyahutnya. Ia terduduk di lantai, melolong-lolong. Tubuhnya menggeletak pasrah di keramik yang dingin.
Ia terbangun dari tidurnya yang singkat, kemudian bangkit dari lantai, berdiri berpegangan tembok.
Rasanya ia ingin mengompol setelah membuka pintu dan mendapati anaknya tergantung di pohon kelengkeng dalam keadaan terbalik. Rok seragamnya tersibak, memperlihatkan celana pendek. Mulutnya ditutup dengan lakban hitam. Kedua tangannya diikat. Salah satu jarinya dibebat berlapis-lapis kain.
Utami memekik dan tubuhnya nyaris ambruk. Ia berjalan terseok menghampiri anaknya. Tangannya hanya mampu menjangkau wajah anan itu.
Beberapa tetangga datang, membantu menurunkan bocah itu. Mereka diam, tidak ada satu pun yang bertanya mengapa. Beberapa orang memberi tatapan puas melihat betapa amburadul penampilan Utami. Rambut sebahunya awut-awutan. Wajah bulatnya berminyak, matanya sembab.
Sore harinya, seorang wanita yang disegani orang-orang sebab kekayaannya mendatangi Utami. Ia adalah ibu Paman Pram. Wanita tua itu datang dikawal si tukang kebun. Tanpa duduk terlebih dahulu, ia mengulurkan amplop kepada Utami, “Ini untuk mengobati luka anakmu supaya tidak infeksi.” Suaranya terdengar datar, tetapi bagi Utami, kalimat itu mengandung keangkuhan.
Utami terpekur, memandangi kepergian dua tamunya. Matanya lalu tertumbuk pada amplop di tangannya. Selain uang, ia menemukan sebuah surat. Surat lagi!
“Jari kelingking sepadan dengan ekor kucing yang terluka. Rambutnya menggantikan bulu yang dipangkas gunting. Kali ini anakmu aku lepaskan. Lain kali, aku akan mengantar anak itu menyusul temannya.”
Ia mengoyak kertas itu dengan beringas. Hanya karena kucing, pikir Utami dengan dada panas.
Pada satu kesempatan, perempuan itu nekat masuk ke pekarangan rumah Paman Pram melalui pintu belakang, seperti yang pernah anak-anak lakukan. Ia mendorong pintu besi itu hingga berderit.
Kebun itu bersih. Di dekat pohon rambutan, tiga kandang kucing berbaris teratur. Dua anak kucing bergumul di dalam salah satu kandang sambil berjemur. Utami meraih satu anak kucing. Tiba-tiba api membakar dadanya.
Matanya menusuk mata kucing itu dengan tajam. Kedua tangannya mencengkeram leher si kucing; si kucing meronta. Ia ingat bagaimana tangan itu pernah mencengkeram leher seorang bayi, bayi yang pernah ia anggap harta karun, bayi yang membuatnya dijuluki pelacur sebab lahir tanpa ayah. Tatapan bayi itu membuat cengkeramannya mengendur, begitu pun dengan tatapan si kucing. (*)
Sltg, 23 Februari 2025
Seekor Bayi
-
Orisinalitas
-
Peran Arahan
-
Alur Cerita
-
Gaya Bahasa
-
Penulisa