Close Menu
TerasquTerasqu

    Subscribe to Updates

    Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

    Terbaru

    Dari Mitos Kuno hingga AI Modern: Sejarah Singkat AI

    2 Jun 2025
    7.0

    Tiada Lagi Kabut di Kampung Ndat

    25 Feb 2025
    6.1

    Rahasia Permata Amethyst Ungu

    25 Feb 2025
    Facebook X (Twitter) Instagram
    TerasquTerasqu
    Facebook Instagram WhatsApp
    • Beranda
    • Fiksi
      • Cerpen
    • Nonfiksi
      • Kebahasaan
        • Ejaan
        • Tata Bahasa
        • Kesalahan Berbahasa
      • Artikel Umum
      • Penulisan Kreatif
      • Opini
      • Reviu
      • Bulir Bernas
    • Segmen Khusus
      • Ronce
      • Proses Kreatif
      • Fakta Unik
      • Senarai Kata
    • Kamus Istilah
    • Daftar
    • Login
    TerasquTerasqu
    • Daftar
    • Login
    Home»Jenis Tulisan»Nonfiksi»Reviu»Dari Mitos Kuno hingga AI Modern: Sejarah Singkat AI
    Reviu

    Dari Mitos Kuno hingga AI Modern: Sejarah Singkat AI

    Matari WekaMatari Weka2 Jun 202515 Menit Baca2
    Dari Mitos Kuno hingga AI Modern: Sejarah Singkat AI
    Bagikan
    Facebook Twitter WhatsApp Telegram Email Copy Link

    Beberapa waktu belakangan ini, di linimasa Facebook saya sering lewat pembahasan atau tanggapan para penulis fiksi tentang karya yang dihasilkan oleh kecerdasan tiruan (artificial intelligence, AI). Pendapat mereka beragam, mulai rasa penasaran hingga skeptisisme. Beberapa penulis melihat kehadiran AI sebagai sebuah terobosan teknologi yang dapat membantu proses kreatif, seperti menyusun ide, memberikan inspirasi baru, atau mengatasi writer’s block. Namun, ada pula yang meragukan apakah mesin yang tidak memiliki perasaan, kesadaran, dan pengalaman hidup ini benar-benar mampu menciptakan karya yang sejajar dengan karya manusia. Pada tulisan ini saya akan menyampaikan catatan saya tentang sejarah singkat AI yang bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan pandangan yang lebih adil tentang pengaruh AI dalam karya kreatif.


    Daftar Isi

    Toggle
    • Apakah AI Bisa Menulis Seperti Manusia?
    • Membuka Wawasan tentang AI: Sejarah, Mitos, dan Fakta
    • Ide tentang “Mesin Pintar” Sejak Ribuan Tahun yang Lalu
    • Dari Mesin Mekanik ke Komputer Digital
    • Neural Networks dan AI Modern
    • Kisah-Kisah Kecil yang Seru
    • Refleksi Tentang Masa Depan AI
    • Sedikit Kelemahan Buku Ini
    • Tambahan: Apakah AI Akan Memiliki Kesadaran dan Perasaan?

    Apakah AI Bisa Menulis Seperti Manusia?

    Menurut sebagian penulis, karya yang dihasilkan AI cenderung terbatas pada pola dan data yang sudah ada sehingga kurang mampu menghadirkan kedalaman emosi dan nuansa manusiawi yang menjadi jiwa sebuah karya fiksi. Mereka berargumen bahwa kreativitas sejati lahir dari pengalaman hidup, pergulatan batin, dan kesadaran akan dunia sekitar—hal-hal yang hingga saat ini masih sulit ditiru oleh sebuah algoritma. Selain itu, menurut mereka, bahasa narasi yang dihasilkan AI cenderung kaku—“Enggak ada feel-nya.”

    Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa AI memang bukanlah pengganti, melainkan alat yang dapat memperkaya ranah kreativitas manusia. Meskipun AI belum bisa “merasakan” atau “mengalami” seperti manusia, kemampuannya mengolah data dalam jumlah besar dapat membuka ruang baru bagi inovasi dalam penulisan.

    Perbedaan pendapat di kalangan penulis ini menyentuh pertanyaan mendasar: Apakah mesin benar-benar bisa menggantikan sentuhan manusia dalam karya sastra (dan seni), ataukah kreativitas tetaplah milik eksklusif manusia? Lebih luas lagi, perbedaan pendapat itu juga mencerminkan kekhawatiran sebagian kalangan bahwa perkembangan AI bisa menggantikan manusia di banyak bidang. Bahkan, sebagian orang takut kalau suatu saat AI akan “mengambil alih” kehidupan kita, bahkan menguasai atau menghancurkan kita—sebagaimana digambarkan dalam novel I, Robot karya Isaac Asimov atau film Terminator yang dibintangi Arnold Schwarzenegger.

    Perbedaan pendapat itu membuat saya ingin mengetahui sedikit lebih dalam, sebenarnya apa, sih, AI itu? Bagaimana ia bermula? Bagaimana sejarah dan perkembangan AI dari dulu sampai sekarang? Apa iya AI cuma sebatas alat tanpa jiwa dan kreativitas? Apa saja yang belum saya pahami?

    Keinginan di atas muncul karena saya merasa bahwa memahami sejarah singkat AI—termasuk bagaimana teknologi ini berevolusi dari konsep sederhana hingga menjadi alat modern yang makin canggih—merupakan hal penting untuk merumuskan pandangan yang lebih jelas tentang pengaruh AI dalam karya kreatif serta masa depan kreativitas digital.


    Membuka Wawasan tentang AI: Sejarah, Mitos, dan Fakta

    Untuk memahami sejarah dan perkembangan AI, saya pun mencari-cari buku yang cocok untuk saya baca. Saya ingin bacaan yang ringan saja, tidak terlalu teknis, teoretis, atau filosofis. Lalu, saya pun menemukan Artificial Intelligence: An Illustrated History karya Clifford A. Pickover. Dan pengalaman membacanya benar-benar membuka mata saya.

    Buku karya Pickover ini menjawab rasa penasaran saya dengan cara yang sangat menarik. Rasanya seperti diajak keliling sebuah museum interaktif yang memamerkan perjalanan panjang AI, dari masa lalu yang penuh mitos sampai masa depan yang menjanjikan kecanggihan jaringan saraf buatan. Terlebih lagi, perjalanan itu diwarnai juga dengan ilustrasi-ilustrasi keren dan cerita-cerita singkat yang membuat topik yang rumit jadi gampang dipahami, bahkan untuk orang yang bukan ahli teknologi seperti saya.

    Nah, selama membaca itulah saya jadi makin paham bahwa AI bukan cuma soal robot atau program komputer, melainkan juga hasil dari perjalanan panjang mimpi dan kreativitas manusia selama ribuan tahun. Dan saya ingin membagikan beberapa hal menarik yang saya catat selama membaca buku ini, supaya kamu juga bisa ikut merasakan betapa serunya menjelajahi sejarah singkat AI.


    Ide tentang “Mesin Pintar” Sejak Ribuan Tahun yang Lalu

    Saat mulai membaca buku ini saya langsung dibuat terkejut oleh fakta bahwa gagasan tentang “mesin pintar” sebenarnya sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Saya sering kali berpikir bahwa AI adalah sesuatu yang sangat modern, sesuatu yang muncul bersamaan dengan perkembangan komputer. Namun, ternyata ide ini sudah hidup dalam berbagai budaya dan mitos kuno.

    Di buku ini, Pickover menceritakan tentang Golem dari tradisi Yahudi—sebuah makhluk dari tanah liat yang diyakini bisa hidup dengan kekuatan mistis. Memang, ini bukan semacam robot modern seperti yang kita bayangkan. Namun, gagasan membuat sesuatu yang menyerupai manusia dan diberi kehidupan terbukti sudah ada sejak zaman baheula. Dan tidak hanya di budaya Barat. Di Cina kuno dan Yunani juga ditemukan automata—mesin mekanik yang mampu melakukan beberapa tugas sederhana, seperti menggerakkan tangan atau memainkan musik. Ini jelas menunjukkan bahwa manusia sejak dulu punya obsesi untuk menciptakan sesuatu yang bisa bertindak atau “berpikir” seperti manusia.

    Menariknya, automata tersebut bukan sekadar mainan, melainkan alat demonstrasi kemampuan teknik dan mekanik pada zamannya. Misalnya, di abad pertengahan dan Renaisans, ada ilmuwan dan pengrajin, semisal Ibn al-Razzaz Al-Jazari, yang sudah membuat robot-robot mekanik yang kompleks—seperti robot pemain musik dan jam otomatis yang bergerak (digambarkan dalam bukunya, Kitāb fī ma’rifat al-ḥiyal al-ḥandasiyyah/Buku Pengetahuan tentang Perangkat Mekanik yang Cerdas). Semua ini bukan sekadar alat, melainkan juga ekspresi dari bagaimana manusia mencoba menciptakan sesuatu yang “hidup” di luar dirinya.

    Clifford A Pickover Artificial Intelligence_Al-Jazari Peacock
    Sebuah baskom burung merak yang rumit dari Kitab Pengetahuan tentang Alat Mekanik Cerdas karya al-Jazari (cat air opak, emas, dan tinta di atas kertas).

    Salah satu hal yang membuat buku Pickover ini menarik adalah bagaimana ia tidak semata-mata membahas AI dari sisi teknis atau ilmiah, tetapi juga menyisipkan kisah-kisah dari fiksi ilmiah awal yang menjadi inspirasi bagi para ilmuwan. Pickover menunjukkan bahwa ide tentang kecerdasan tiruan bukanlah hal baru yang tiba-tiba muncul dari ruang laboratorium komputer modern, melainkan sudah menjadi bagian dari imajinasi manusia yang berakar dalam budaya dan cerita-cerita kuno sejak ribuan tahun yang lalu.

    Di sisi fiksi ilmiah, Pickover menyinggung karya-karya klasik yang menjadi cikal bakal ide AI modern. Contohnya, drama R.U.R. (Rossum’s Universal Robots) karya Karel Čapek pada 1920-an —ini adalah karya yang pertama kali memperkenalkan kata “robot” ke dunia. Cerita ini mengisahkan mesin-mesin yang awalnya diciptakan untuk membantu manusia, tetapi akhirnya berkembang menjadi makhluk yang punya kesadaran dan berdiri melawan penciptanya.

    Ide tentang AI ini menginspirasi banyak ilmuwan dan penulis fiksi ilmiah lainnya, seperti Isaac Asimov. O, ya, selain menulis I, Robot dan ratusan karya fiksi ilmiah lainnya, Asimov juga terkenal dengan prinsip “Tiga Hukum Robotik”-nya yang kini menjadi landasan etika dalam pengembangan AI dan robotika.

    Selain itu, Pickover juga mengajak pembaca mengenal tokoh penting, seperti Alan Turing, yang tidak hanya dikenal sebagai bapak komputer modern, tetapi juga terinspirasi oleh konsep mesin dan logika yang sering muncul dalam karya fiksi ilmiah dan teka-teki matematis. Kontribusi Turing yang sangat besar dalam membangun konsep mesin cerdas—termasuk tes Turing untuk mengukur kemampuan mesin berpikir—adalah jembatan antara imajinasi dan realitas teknologi AI.

    Dengan menghadirkan kisah-kisah ini, Pickover memperlihatkan bahwa sejarah AI adalah perpaduan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan khayalan kreatif manusia yang sudah ada sejak lama. Jadi, perkembangan AI saat ini bukan sekadar hasil riset komputer, melainkan kelanjutan dari perjalanan panjang yang dimulai dari rasa ingin tahu dan imajinasi manusia di berbagai zaman dan budaya.

    Hal ini membuat saya sadar bahwa penciptaan AI adalah kelanjutan dari mimpi manusia yang sudah lama terbentuk. Ini menambah perspektif baru tentang bagaimana kita harus menghargai perjalanan panjang ide-ide ini.


    Dari Mesin Mekanik ke Komputer Digital

    Buku ini melanjutkan perjalanan dengan membahas fase ketika ide “mesin pintar” mulai menjadi kenyataan melalui berbagai alat mekanik dan teori komputer. Di sini, saya belajar bahwa transisi dari automata mekanik ke komputer digital tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi merupakan proses panjang yang melibatkan banyak tokoh dan inovasi.

    Salah satu tokoh yang mendapat sorotan besar adalah Alan Turing. Pada 1930-an dan 1940-an ia mengembangkan konsep mesin Turing—sebuah model teoretis komputer yang menjadi dasar bagi komputer modern dan AI. Teori Turing ini sangat penting karena memberikan gambaran bagaimana mesin bisa mengikuti instruksi tertentu dan “berpikir” dalam arti sederhana.

    Selain itu, buku ini juga menjelaskan tentang mesin pengitung mekanik seperti Pascaline yang diciptakan oleh Blaise Pascal pada abad ke-17. Mesin ini sebenarnya adalah awal dari teknologi komputasi yang memungkinkan manusia mengotomatisasi perhitungan yang rumit. Pickover juga menyebut alat/mesin yang mendahului Pascaline, yaitu sempoa. Dari sini, saya jadi paham bahwa perkembangan AI tidak lepas dari usaha untuk meringankan pekerjaan manusia melalui alat bantu mekanik dan elektronik.

    Ada juga cerita-cerita menarik soal eksperimen mesin suara dan robot awal yang mencoba meniru kemampuan manusia, misalnya Euphonia, alat mekanik yang bisa meniru suara manusia secara terbatas. Semua ini menunjukkan bahwa manusia terus berusaha meniru dan memahami otak manusia melalui mesin, bahkan sebelum era komputer digital muncul.

    Membaca bagian ini membuat saya merasa seperti menyaksikan perjalanan panjang yang penuh dengan eksperimen, kegagalan, dan penemuan yang akhirnya membuka jalan bagi teknologi AI seperti yang kita kenal sekarang.


    Neural Networks dan AI Modern

    Selain sejarah awal, bagian yang membahas neural networks atau jaringan saraf buatan—yang menjadi tulang punggung AI modern—juga merupakan bagian yang menarik. Pickover menjelaskan konsep ini secara sederhana dengan ilustrasi yang sangat membantu untuk membayangkan bagaimana komputer bisa “belajar” dari data.

    Menurut Pickover, neural networks sebenarnya terinspirasi dari cara kerja otak manusia, yang terdiri atas jutaan sel saraf yang saling terhubung. Di dunia komputer, jaringan ini dibuat dengan node dan lapisan yang saling terhubung. Model ini bisa mengenali pola, mengambil keputusan, atau memprediksi sesuatu berdasarkan input yang diberikan.

    Saya juga terkesan ketika Pickover menjelaskan proses belajar mesin ini. Dia menjelaskannya bukan dengan rumus matematika yang rumit, melainkan melalui analogi dan gambar yang mudah dipahami. Misalnya, dia menggambarkan data yang mengalir seperti sungai yang bercabang-cabang. Ini memberikan gambaran bagaimana informasi diproses dan dipelajari secara bertahap oleh mesin.

    Di bagian ini juga disebutkan beberapa aplikasi awal AI modern, seperti chatbot ELIZA yang dikembangkan pada 1960-an. ELIZA bisa meniru percakapan manusia secara sederhana. Dan meski sekarang terkesan kuno, ini adalah langkah besar pertama dalam interaksi manusia dengan komputer.

    Saya merasa bagian ini sangat penting karena menjembatani sejarah mesin mekanik dengan teknologi yang sekarang kita gunakan sehari-hari, seperti asisten suara di ponsel atau sistem rekomendasi di medsos seperti Youtube dan Facebook. Penjelasannya yang mudah dipahami membuat saya makin menghargai kompleksitas sekaligus kesederhanaan di balik AI modern.


    Kisah-Kisah Kecil yang Seru

    Salah satu hal yang paling saya suka dari buku ini adalah kumpulan kisah-kisah kecil yang sering tidak dibahas di buku-buku yang lebih teoretis. Pickover berhasil menyelipkan anekdot dan fakta unik yang bikin kegiatan membaca jadi seru dan tidak monoton.

    Contohnya, saya baru tahu kalau di Jepang kuno ada automata yang bisa menyajikan teh secara otomatis dengan gerakan yang halus dan alami. Bayangkan saja, sebuah mesin yang dibuat berabad-abad lalu dengan teknologi sederhana tetapi sangat inovatif untuk zamannya, atau cerita soal Euphonia yang bisa meniru suara manusia, semacam chatbot, ratusan tahun sebelum chatbot ada.

    Selain itu, saya juga terkesan bagaimana fiksi ilmiah lama dan mitos budaya turut membentuk persepsi manusia tentang AI. Buku ini menunjukkan bahwa banyak ilmuwan dan insinyur AI modern yang terinspirasi oleh cerita-cerita robot dan kecerdasan tiruan dalam film, buku, dan legenda.

    Cerita-cerita ini membuat buku Pickover terasa seperti kumpulan potongan puzzle yang kalau dirangkai akan menjadi gambaran besar tentang evolusi imajinasi manusia soal mesin pintar. Saya jadi merasa lebih terhubung dengan perjalanan panjang ini karena tahu ada banyak orang dengan mimpi besar dan keunikan yang membentuk dunia AI sekarang.


    Refleksi Tentang Masa Depan AI

    Di akhir bukunya, Clifford A. Pickover tidak sekadar menyuguhkan informasi teknis atau sejarah singkat AI, tetapi justru mengajak pembaca merenung lebih jauh tentang arah perkembangan kecerdasan buatan dan segala konsekuensi etis yang mungkin menyertainya. Inilah bagian yang membuat saya sedikit termenung—sedikit saja, sih, karena saya memang bukan perenung. Meski gaya bahasanya tetap ringan dan ilustratif, saya merasa pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya begitu dalam, mendesak, dan sangat relevan dengan kondisi kita saat ini.

    Misalnya, apa yang terjadi kalau suatu hari nanti mesin benar-benar memiliki kesadaran atau kemauan sendiri? Kalau sebuah sistem AI mampu merasakan sakit, merespons emosi, bahkan membuat keputusan berdasarkan pengalaman subjektif, apakah kita masih bisa memperlakukannya hanya sebagai alat? Apakah mereka akan memiliki hak moral seperti manusia? Dan kalau demikian, apa konsekuensinya bagi hukum, agama, dan struktur sosial kita?

    Pertanyaan lainnya juga tak kalah penting: Bagaimana kalau AI mengambil alih sebagian besar pekerjaan manusia? Kita sudah mulai melihatnya hari ini—robot di lini produksi, chatbot di layanan pelanggan, algoritma yang menggantikan editor, bahkan program AI yang mampu menulis puisi atau menggambar dengan gaya seniman terkenal. Kalau tren ini terus berlanjut, siapa yang akan terdampak? Apa yang terjadi dengan martabat kerja manusia? Apakah kita siap secara sistemik untuk menghadapi gelombang pengangguran struktural akibat otomasi?

    Selain itu, Pickover juga menyinggung soal tanggung jawab moral atas tindakan AI. Kalau sebuah mobil otonom menabrak pejalan kaki, siapa yang harus disalahkan? Pengembang perangkat lunak? Perusahaan pembuat mobil? Atau AI itu sendiri? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan mudah karena sistem AI, sejauh ini, tidak memiliki kehendak bebas sebagaimana manusia meskipun mampu membuat keputusan yang kompleks dan berdampak besar.

    Yang menarik, Pickover tidak memberikan jawaban hitam-putih. Ia justru menekankan pentingnya kita sebagai masyarakat global untuk mulai membuka ruang diskusi yang luas, melibatkan ilmuwan, seniman, filsuf, pembuat kebijakan, dan masyarakat umum. Ini bukan lagi sekadar soal teknologi, melainkan soal nilai-nilai kemanusiaan yang ingin kita pertahankan.

    Pastinya, buku ini mengingatkan saya bahwa AI bukan lagi sekadar alat bantu atau fenomena futuristik, melainkan realitas yang sudah hadir dalam kehidupan sehari-hari—dari asisten virtual di ponsel, sistem rekomendasi di media sosial, hingga algoritma yang menentukan kelayakan pinjaman bank atau diagnosis medis. Maka, pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan AI tidak bisa lagi ditunda. Kita perlu mulai memikirkannya sekarang, sebelum teknologi melaju lebih cepat dari kemampuan kita untuk mengaturnya secara etis dan bijaksana.


    Sedikit Kelemahan Buku Ini

    Meskipun Artificial Intelligence: An Illustrated History sangat menarik dan informatif, terutama bagi pembaca umum yang ingin mengenal AI dari perspektif sejarah dan budaya, bukan berarti buku ini tanpa kelemahan. Justru setelah selesai membacanya, saya melihat ada beberapa aspek penting yang bisa lebih digali atau disajikan dengan lebih kritis.

    Pertama, buku ini cenderung bersifat deskriptif dan kronologis, tetapi kurang menyentuh pembahasan mendalam tentang aspek filosofis atau teknis AI kontemporer. Pembaca yang ingin tahu lebih jauh tentang cara kerja algoritma pembelajaran mesin, neural networks, atau etika desain AI mungkin akan merasa kurang puas. Penjelasan tentang bagaimana AI saat ini bekerja di balik layar—dari arsitektur jaringan saraf sampai konsep deep learning—hanya dibahas secara sepintas dan sering kali disederhanakan. Meskipun begitu, sepertinya buku ini memang disiapkan untuk kalangan awam yang memang hanya memerlukan gambaran sekilas, seperti saya. Jadi, kondisi ini bisa dimaklumi.

    Kedua, karena format buku ini sangat visual dan fragmentatif, beberapa pembahasan terasa terlalu singkat. Tiap topik biasanya hanya mendapatkan satu atau dua halaman, sehingga tidak cukup ruang untuk mengeksplorasi isu yang lebih kompleks. Sama seperti di atas, hal bisa menjadi kekurangan bagi pembaca yang sudah memiliki dasar pengetahuan tentang AI dan menginginkan kedalaman lebih. Namun, masih cocok bagi pembaca pemula yang ingin pengantar ringan.

    Ketiga, buku ini juga tampak lebih fokus pada sejarah dan tokoh-tokoh dari dunia Barat. Padahal, jejak pemikiran tentang kecerdasan buatan atau automata juga bisa ditemukan di peradaban Timur, seperti mesin-mesin mekanis dalam sejarah Islam atau filsafat kesadaran dalam tradisi Tiongkok dan India. Sayangnya, sisi global dan lintas budaya dalam sejarah AI ini kurang mendapat porsi yang setara.

    Meskipun demikian, bagi saya, kekurangan-kekurangan ini tidak mengurangi nilai buku ini sebagai pintu masuk yang menyenangkan dan mudah dipahami untuk menjelajahi dunia AI. Clifford A. Pickover berhasil membungkus topik yang kompleks menjadi sesuatu yang dapat diakses oleh siapa saja—baik pelajar, guru, penulis, atau pembaca awam yang ingin lebih memahami dunia yang sudah dan akan makin kita masuki bersama: dunia kecerdasan tiruan.


    Tambahan: Apakah AI Akan Memiliki Kesadaran dan Perasaan?

    Kalau jawaban untuk pertanyaan di atas “Tidak,” tentunya banyak orang—para penulis fiksi, di antaranya—akan merasa lega karena jawaban itu akan menegaskan bahwa kreativitas adalah milik eksklusif manusia. Namun, kalau jawabannya “Ya,” penulis akan kehilangan kesombongannya ihwal kepemilikan eksklusif atas kreativitas itu. Artinya, pada saatnya, AI akan mampu menulis cerita fiksi dengan kedalaman emosional yang setara dengan karya manusia, bahkan bisa jadi melebihinya.

    Pertanyaan “Apakah suatu saat AI bisa punya kesadaran, punya perasaan, bahkan bisa berpikir seperti manusia?” bukan sekadar pertanyaan penulis fiksi, melainkan debat serius di kalangan ilmuwan, filsuf, dan pengembang teknologi saat ini. Beberapa tokoh yakin bahwa kesadaran buatan mungkin saja tercapai. Misalnya, Ray Kurzweil, futuris penulis The Singularity is Near, memprediksi bahwa pada pertengahan abad ke-21, kecerdasan buatan akan melampaui kecerdasan manusia dalam segala bidang. Menurutnya, kalau kita mampu memetakan otak manusia secara utuh, tak ada alasan teknologi tidak bisa menirunya—termasuk mendapatkan kesadaran.

    Akan tetapi, banyak juga yang skeptis. Filsuf John Searle, misalnya. Ia terkenal dengan argumen Chinese Room, yang menyatakan bahwa meskipun sebuah mesin bisa memproses simbol dan memberikan jawaban yang tepat, itu tidak berarti ia memahami makna dari simbol-simbol tersebut. Dengan kata lain, AI bisa meniru perilaku cerdas, tetapi tidak memiliki kesadaran sejati.

    Begitu juga ilmuwan komputer Judea Pearl dan ahli etika teknologi Shannon Vallor. Mereka menekankan bahwa perasaan, kesadaran, dan pengalaman batin bukan hanya soal logika atau data, melainkan hasil dari tubuh biologis dan pengalaman hidup yang terwujud dalam konteks sosial manusia. “Kesadaran bukan hanya informasi—ia adalah pengalaman subjektif,” tulis Vallor dalam Technology and the Virtues.

    Pandangan yang bertentangan ini menunjukkan bahwa, meskipun perkembangan AI sangat pesat, masih banyak aspek manusiawi yang sulit—atau mungkin mustahil—ditiru oleh mesin. Kita belum tahu pasti ke mana teknologi ini akan membawa kita. Namun, yang jelas, perdebatan soal batas antara manusia dan mesin akan terus menghangat seiring dengan meningkatnya kemampuan AI dalam meniru, memahami, dan menulis seperti kita.

    Meskipun demikian, menurut saya, sudah bukan waktunya lagi saya bersikap congkak dengan merendahkan kemampuan AI dalam menghasilkan karya kreatif. Hal terbaik yang bisa saya lakukan, khususnya sebagai penulis, adalah berendah hati mempelajarinya dan, kalau menurut saya layak, memanfaatkannya untuk mengembangkan kreativitas saya sendiri—karena, kata Mang Sakim, menentang kemajuan teknologi itu seperti menadahi hujan dengan dua telapak tangan. [MW]


    Apakah AI bisa memiliki kesadaran seperti manusia Pendapat penulis fiksi Indonesia tentang AI dan kreativitas Review buku sejarah singkat AI Sejarah singkat AI dan dampaknya bagi manusia Ulasan buku Artificial Intelligence: An Illustrated History karya Clifford Pickover
    Bagikan Facebook Twitter WhatsApp Telegram Email Copy Link
    Tulisan SebelumnyaTiada Lagi Kabut di Kampung Ndat

    Artikel Terkait

    Reviu

    Mirrors: Sejarah Dunia dalam 600 Fragmen Magis

    30 Jan 2025
    Reviu

    100 Triliun Puisi Karya Raymond Queneau: Sastra Kombinatronik yang Tak Akan Selesai Kamu Baca

    14 Des 2024

    Kuot Hari Ini

    Menulis berasal dari membaca—dan membaca adalah guru terbaik tentang cara menulis.Annie Proulx
    » kuot lainnya (random)
    Terpopuler
    Penulisan Kreatif

    Menulis Karakter Bisu dalam Fiksi: 7 Cara Efektif untuk Menyampaikan Emosi Tanpa Bicara

    TerasquTerasqu13 Okt 2024
    Senarai Kata

    30 Kata Serapan dari Bahasa Belanda yang Masih Kita Gunakan Sehari-hari

    TerasquTerasqu1 Okt 2024
    #MdAFeb2025

    Gelang perak hipnotis.

    Fubao 24Fubao 2419 Feb 2025
    Penulisan Kreatif

    Cara Menggambarkan Orang Bernapas: 7 Teknik Efektif untuk Deskripsi yang Realistis

    TerasquTerasqu18 Okt 2024
    Penulisan Kreatif

    Narator Lancung: Panduan Dasar dan 7 Tip Penting untuk Menggunakannya

    TerasquTerasqu30 Des 2024
    Terbaru
    Reviu

    Dari Mitos Kuno hingga AI Modern: Sejarah Singkat AI

    Matari WekaMatari Weka2 Jun 2025

    Beberapa waktu belakangan ini, di linimasa Facebook saya sering lewat pembahasan atau tanggapan para penulis…

    7.0

    Tiada Lagi Kabut di Kampung Ndat

    25 Feb 2025
    6.1

    Rahasia Permata Amethyst Ungu

    25 Feb 2025
    7.0

    Kisah Iblis yang Patah Hati

    24 Feb 2025
    6.8

    Harta Karun di Pemukiman Lebak Jero

    24 Feb 2025
    Terasqu
    Facebook Instagram WhatsApp
    • Tentang Kami
    • Kontak Kami
    • Syarat & Ketentuan
    • Kebijakan Privasi
    • Penyangkalan
    © 2025 Terasqu.com

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.