Lelaki itu adalah emas yang tersembunyi, berlian yang terkunci, keindahan yang dilindungi. Baginya, lelaki itu adalah harta tersembunyi dan ia adalah satu-satunya penjaga yang boleh melihat semua bagian tubuh lelakinya dengan mata telanjang.
Ia menatap lelaki itu dengan sinar mata cemas. Pucat meliputi wajahnya yang dulu gemilang, kini meredup dalam kekangan yang ia ciptakan. Ia membungkus lelaki itu dalam kamar berlapis besi dalam pikirannya sendiri, membiarkan angin dan cahaya hanya mengintip lewat celah sempit jendela berjeruji di matanya. Ia telah menyembunyikannya seperti harta karun, terkubur dalam ketakutan yang tak pernah sirna. Ia tak ingin ada tangan lain yang menggali, tak ingin ada mata lain yang menaksir nilainya.
Ia ingat bagaimana susahnya mendapatkan cinta seorang lelaki yang tulus seperti cinta lelakinya. Barangkali, di tengah dunia yang serba tak tentu, cinta akan menjadi barang langka karena cinta ternyata bisa diperjualbelikan. Maka, ketika ia mendapat cinta, tak ada satu alasan pun untuk melepasnya. Cinta adalah harta karun, sampai-sampai perasaan untuk menjaganya lebih besar dari rasa cinta kepada dirinya sendiri.
Di dunia yang hampir kiamat ini, jalanan dipenuhi kehampaan. Laki-laki menjadi makhluk langka, seperti spesies yang hampir punah. Ada yang memilih sesama mereka, ada yang menghilang dalam ketidakteraturan, ada yang tersisa hanya untuk berebut dan diperebutkan. Maka ia ingin selalu melindunginya, menjaganya, menahannya dalam genggaman. Sebab dunia tak lagi mengenal kata setia, sebab kesetiaan sendiri telah terkikis oleh rasa putus asa.
Ia merasa cemas bahkan ketika mendengar kabar kelahiran anak perempuan. Ia pun merasa terganggu kepada tema-tema high school-nya yang rata-rata perempuan. Dengan banyaknya perempuan berarti banyak juga persaingan untuk mendapatkan cinta laki-laki. Oleh karena itulah, cinta satu-satunya itu harus ia simpan dalam brankas yang tak tersentuh oleh orang lain. Bukankah orang-orang memang selalu membayar mahal untuk sebuah cinta? Cinta yang cuma satu-satunya. Cinta yang tak boleh dibagi-bagi.
Pernah suatu ketika, saat ia mengunjungi sebuah mall ternama bersama lelakinya, ratusan pasang mata fokus memandang lelakinya dengan sepasang bibir yang berlelehan air liur. Ia tahu bahwa perempuan-perempuan jalang itu menginginkan lelakinya. Ia menganggap hal itu sebagai kesalahan besar. Bukan ide bagus memamerkan cinta kepada orang yang tak memilikinya. Padahal, ia ingin bebas bercinta. Ia ingin bebas mengumbar kebahagiaannya. Namun, dunia terlalu iri kepadanya.
Lalu, pada hari lain, ia berencana berkencan di tepi pantai di mana rata-rata pengunjung adalah laki-laki dan ekspatriat. Sebuah rencana yang bagus untuk memanggang diri di bawah terik matahari tanpa pandangan mata yang mencuri. Akan tetapi, ia salah perhitungan. Di dunia dengan segala kegilaannya ini, barangkali cuma cinta yang tak memiliki batasan. Banyak laki-laki asing yang tiba-tiba mendatangi suaminya.
Ia melihat mereka mendekat, laki-laki dengan mata penuh kehendak, dengan senyum licin yang menyiratkan sesuatu yang tak terucapkan. Ombak berdebur malas di belakangnya, membawa sisa-sisa buih yang pecah di tepi pasir. Matahari jatuh dengan warna keemasan yang menyilaukan, tetapi hawa panas yang ia rasakan bukan berasal dari sana, melainkan dari tatapan-tatapan asing yang menusuk tubuh lelakinya seperti sepasang belati yang diasah dengan obsesi. Mereka berbaris di kejauhan, mendekat perlahan, seolah-olah menginginkannya. Ia tahu. Oh, ia tahu. Tak ada yang kebetulan di dunia yang tak lagi mengenal batas ini.
Lelakinya, yang selama ini ia jaga dalam pelukan seperti benda antik tak ternilai, kini berada di ambang ketercabutan. Seperti daun yang bergemetar sebelum lepas dari ranting, seperti embun yang tahu dirinya akan lenyap begitu matahari sempurna naik. Ia menggenggam tangan lelakinya erat-erat, jemarinya mencengkeram seperti jerat halus yang tak ingin putus. Namun, apakah genggaman bisa melawan kegilaan dunia?
Dunia seolah-olah merapat, menyempit, dan ia hanya bisa menyaksikan, tanpa daya, ketika seseorang di antara laki-laki itu menyentuh bahu lelakinya dengan kelembutan yang mengerikan, sebuah keinginan yang merayap perlahan, merasuk lebih dalam dari yang bisa ia cegah. Bahkan, ia hampir kehilangan lelakinya bukan dari seorang perempuan. Ia mengurut kepalanya, pening.
Ia tersentak. Jemarinya mengerat, meremas lengan lelakinya seolah-olah itu satu-satunya hal yang nyata dalam dunianya yang bergetar. Angin pantai bertiup garang, membawa serta garam dan pasir yang menempel di kulit, tetapi yang lebih menyakitkan adalah rasa takut yang menjalar seperti bisa dalam nadi. Lelakinya berdiri kaku, diam di antara gelombang keinginan yang mengintainya dari segala arah. Tatapan laki-laki asing itu semakin dalam, semakin menuntut, semakin rakus. Ia tak bisa membiarkan ini. Tidak di sini. Tidak sekarang. Tidak pernah.
Harta karunnya hampir lenyap. Tanpa pikir panjang, ia menarik lelakinya. Dada mereka bertubrukan dalam gemetar yang sama, tetapi ia tak peduli. Kakinya mulai berlari, membelah butiran pasir yang berhamburan seperti pecahan kaca di bawah cahaya mentari. Nafasnya tersengal, degup jantungnya memburu. Di belakang, ia masih bisa mendengar tawa yang samar, gumaman-gumaman yang menyesakkan, bisikan yang menguntit langkah mereka seperti bayangan yang enggan pergi. Lelakinya mencoba meronta, tubuhnya sedikit tertahan, tetapi ia tak memberi kesempatan. Ia harus membawa lelakinya pergi dari tempat ini, dari tatapan-tatapan yang ingin merebutnya, dari cengkraman dunia yang ingin memilikinya. Lelakinya adalah miliknya seorang, dan ia tak akan membiarkan dunia yang tak tahu malu ini merampasnya darinya.
Ia memutuskan untuk mengurung lelakinya sejak saat itu.
Lelaki itu memberontak. Ia ingin kebebasan, tapi lelakinya begitu berharga. Ia harta karun satu-satunya. Jika ia kehilangan dengan siapa ia harus melewati kegilaan ini? Lelaki itu berteriak di balik dinding yang membelenggunya, memukul-mukul pintu yang terkunci rapat.
“Aku ingin melihat dunia lain!” katanya. “Aku bukan harta karun yang harus kau simpan!”
Perempuan itu menutup telinga. Ia berpaling dari wajah yang berangsur pudar. Ia ingin lelaki itu tetap berkilau, tetap ada, tetap menjadi miliknya seorang. Namun, semakin ia menggenggam, semakin lelaki itu ingin lepas. Seperti pasir yang merembes di sela jari. Seperti ombak yang menolak diam.
Dan akhirnya, lelaki itu pergi. Ia benar-benar pergi setelah jeruji dalam kepala itu tak cukup kuat untuk menahannya lebih lama. Jenuh, tersiksa, egois, katanya. Ia tak bisa berkubang sendirian dalam obsesinya itu.
Lelakinya menerobos keluar, melompat, berbaur ke dunia yang berantakan. Berlari ke dalam pelukan-pelukan lain. Pelukan yang tak membelenggu, tak menahan, tak mengikatnya dengan ketakutan seperti yang dulu ia lakukan. Perempuan itu melihat harta karunnya pergi, melihatnya menjauh, melihatnya menjadi bayangan yang tak lagi bisa ia rengkuh. Harta karun itu telah lepas. Hilang. Dirampas dunia yang kejam.
Anehnya, ia malah tertawa. Tawa yang pahit, yang hambar, yang kosong, yang menggemakan kepedihan. Ia bukan lagi penjaga. Ia bukan lagi pemilik. Maka ia menjadi bagian dari dunia yang dulu ia benci. Ia menanggalkan ketakutan, membiarkan diri larut dalam hiruk-pikuk. Menjadi angin yang berdesir tanpa arah. Menjadi laut yang menelan siapa saja yang ingin tenggelam. Menjadi mata jalang yang menatap dengan buas.
Ia melihat ke cermin di kamarnya, menatap dirinya yang semakin asing. Mata itu, mata yang pernah memancarkan api keteguhan, kini hanya berisi kehampaan. Ia tersenyum sinis. Apa yang tersisa darinya sekarang? Sebuah tubuh yang kehilangan jiwa, sebuah raga yang berjalan tanpa arah. Dunia di luar terus bergerak, meskipun terasa hampa, meskipun terasa tidak lagi bermakna.
Suatu malam, ia kembali ke tempat lelaki itu pernah dikurung. Menelusuri jejak kenangan yang kini terasa seperti sisa mimpi buruk yang enggan pudar. Dinding besi masih berdiri kokoh, tapi ruangan itu begitu hampa. Sunyi. Sama seperti hatinya. Ia duduk di sana, di lantai dingin yang pernah menjadi saksi bisu obsesi dan ketakutannya. Mengapa ia begitu takut kehilangan? Mengapa ia tak mampu melihat bahwa kebebasan lebih berharga dari kepemilikan? Ia terlalu takut sendirian karena kehilangan adalah satu-satunya bentuk kehancuran.
Ia menutup matanya, membiarkan kenangan melintas sekali lagi. Lelaki itu, dengan tatapan yang dulu penuh perlawanan, dengan suara yang selalu berbisik bahwa ia ingin hidup. Namun, pemahaman itu datang terlambat.
Malam semakin larut. Ia bangkit, meninggalkan ruangan itu untuk terakhir kalinya. Angin dingin menerpa wajahnya saat ia melangkah keluar. Kota yang telah lama ia hindari kini menyambutnya dengan keheningan. Ia berjalan tanpa tujuan, membaur dengan kegelapan. Tak ada lagi yang mengikatnya, tak ada lagi yang harus ia lindungi. Yang tersisa hanyalah dirinya sendiri, dan dunia yang masih terus berputar.
Ia bukan siapa-siapa lagi. Ia bukan apa-apa lagi. Ia pun memilih menjadi mata yang jalang. Dan ia menunggu, ia mencari harta karun lainnya, seseorang yang ingin ia penjarakan dalam hatinya.[]
Lampung, 24 Februari 2025
Sembunyi
-
Orisinalitas
-
Peran Arahan
-
Alur Cerita
-
Gaya Bahasa
-
Penulisan