“Apakah Anda percaya bahwa satu lembar kertas bisa mengguncang seluruh Gereja, Miss Monroe?”
Suara berat Kardinal Lorenzo menggema di dalam ruangan batu yang remang-remang. Sienna Monroe menatap pria tua itu, mencoba mencari tanda apakah ia sedang bercanda. Namun, ekspresi di wajahnya terlalu serius untuk sebuah lelucon.
“Apa maksud Anda?” tanya Sienna.
Kardinal menggeser sebuah kotak kayu tua di atas meja marmer, membuka penutupnya dengan hati-hati. Di dalamnya, tersimpan sebuah gulungan perkamen kuno yang telah menguning dimakan waktu.
“Sandi ini,” katanya sambil mendorong gulungan itu ke arah Sienna.
Sienna mengambil gulungan itu dan mulai membaca. Tulisan tangan yang rapat, kombinasi huruf Latin dan angka, membentuk pola yang rumit. Sebagai seorang ahli kriptografi, ia tahu dengan sekali lihat. Ini bukan sekadar sandi biasa.
“Kami percaya ini petunjuk menuju harta karun Paus yang hilang,” lanjut Lorenzo.
Sienna mengangkat wajahnya. Ada sesuatu dalam nada bicara Lorenzo yang membuatnya curiga.
“Kalau ini hanya tentang harta, kenapa Anda terlihat begitu… khawatir?”
Kardinal berkata pelan, hampir seperti pengakuan.
“Karena jika apa yang tersembunyi dalam kode ini benar-benar ditemukan… itu bisa mengubah sejarah Gereja selamanya.”
Sienna menatapnya, mencari tanda-tanda apakah pria tua itu sedang melebih-lebihkan. Namun, tatapan Lorenzo tetap sama; tenang, serius, dan terlihat penuh beban.
Ia memandang gulungan perkamen itu. Rapuh dan tulisan di atasnya seperti pesan yang sengaja dikaburkan dari mata orang biasa.
“Siapa yang menulis ini?”
“Kami percaya ini ditulis oleh seseorang di lingkaran dalam Paus Pius VI, mungkin seorang sekretaris atau penjaga arsip pribadinya. Dokumen ini ditemukan di dalam dinding tersembunyi di salah satu ruangan yang selama ini tertutup sejak Napoleon menguasai Roma pada tahun 1798.”
“Dan Anda percaya ini adalah petunjuk menuju harta yang hilang?”
“lebih dari percaya, Miss Monroe.”
Sienna menggeser jemarinya di atas tulisan itu, mengurai pola yang mulai terbentuk di kepalanya. “Kalau begitu, mengapa saya? Anda pasti memiliki sejarawan sendiri di sini.”
“Kami memang memiliki banyak akademisi hebat, tetapi sandi ini sangat kompleks, menggabungkan teknik kriptografi klasik dengan metode yang bahkan belum sepenuhnya dipahami oleh para sejarawan kami. Anda adalah salah satu yang terbaik di dunia dalam bidang ini, Miss Monroe.”
Sienna mendengus pelan. “Kehormatan yang luar biasa.”
“Tapi saya harus memperingatkan Anda, ini bukan hanya soal memecahkan kode. Jika Anda memutuskan untuk melangkah lebih jauh… Anda mungkin akan menemukan sesuatu yang tidak seharusnya ditemukan.”
Kata-kata itu membuat bulu kuduk Sienna meremang.
Ia mengembuskan napas dan menatap langsung ke mata Lorenzo. “Saya di sini bukan untuk berdebat tentang apa yang seharusnya ditemukan, Kardinal. Saya di sini untuk memecahkan sandi.”
Lorenzo menghela napas panjang, seolah itulah jawaban yang sudah ia duga.
“Kalau begitu,” katanya sambil berdiri. “Mari kita mulai!”
“Dan setelah saya menemukan kunci dari sandi ini?”
Kardinal menatapnya tajam. “Kita akan melihat apakah Anda masih ingin melanjutkan perjalanan ini.”
Lorenzo berdiri di dekat pintu, memandangnya dengan cemas. “Kami tidak tahu apa yang akan Anda temukan. Tapi hati-hati, Miss Monroe. Ada alasan mengapa dokumen ini disembunyikan dengan begitu ketat. Ada banyak orang yang ingin memastikan bahwa ini tetap terkubur.”
Sienna merenung sejenak. “Apa yang Anda maksud dengan ‘banyak orang’?”
“Sebuah organisasi yang tidak akan berhenti sampai mereka memastikan harta ini tetap hilang. Kelompok ini menganggap bahwa apa pun yang dapat mengguncang fondasi Gereja harus dihentikan.”
“Dan Anda ingin saya memecahkan sandi ini meskipun ada bahaya?”
Lorenzo hanya mengangguk, tanpa ragu. “Kami tidak bisa melakukannya sendiri, Miss Monroe. Anda adalah satu-satunya harapan.”
Sienna mulai menyusun potongan-potongan informasi itu, menganalisis pola-pola yang ada. Waktu seakan berjalan lebih lambat saat ia terbenam dalam pekerjaan itu, tetapi di dalam hati, ia merasa semakin dekat pada sesuatu yang belum pernah ia bayangkan.
Tiba-tiba, suara ketukan keras dari pintu membuatnya terkejut. Sienna segera menutup gulungan perkamen itu dan menyembunyikannya dengan cepat di dalam tasnya.
“Apakah itu mereka?” tanya Sienna, suaranya berbisik.
“Mereka sudah mencium jejak kita. Anda harus segera keluar dari sini,” jawab Lorenzo sambil mengangguk.
Ketukan di pintu semakin keras. Tidak ada suara teriakan atau panggilan, hanya ketukan ritmis yang terdengar dingin dan terencana.
“Apa kita punya jalan keluar lain?”
Sienna menatap Lorenzo, berharap pria itu akan memberinya jawaban atau setidaknya rencana cadangan. Tetapi wajah Kardinal itu tetap tegang.
Lorenzo menoleh ke arah rak buku besar di sudut ruangan. Dengan cepat, ia melangkah ke sana dan menarik salah satu buku tebal yang sudah berdebu. Suara mekanis berderak pelan, dan rak itu bergerak ke belakang, memperlihatkan lorong sempit yang gelap.
“Lewat sini,” katanya. “Cepat!”
Tanpa ragu, Sienna masuk, hawa dingin langsung menyergapnya Lorenzo mengikuti dari belakang, menarik kembali rak ke posisinya semula.
Gelap. Sienna menyalakan senter ponselnya.
“Siapa mereka sebenarnya?” tanya Sienna pelan.
“Ordo Sang Relik.”
Sienna mencengkeram tasnya lebih erat.
“Saya yakin. Selama berabad-abad, mereka menjaga rahasia yang sama. Mereka tahu apa yang kita cari, dan mereka akan melakukan apa pun untuk menghentikan kita,” Lorenzo melanjutkan.
Suara langkah kaki terdengar menggema di kejauhan dari arah berlawanan. Ada seseorang di dalam lorong ini bersama mereka.
Suara langkah kaki itu semakin mendekat. Teratur.
Sienna berusaha meredam ketakutan yang mulai merayapi tubuhnya. Lorong ini begitu sempit, akan sulit untuk melarikan diri jika mereka bertemu seseorang di sini.
Bayangan sosok tinggi terbentuk di dinding batu yang lembap. Sosok itu muncul. Seorang pria berjubah hitam, dengan lambang salib kecil berwarna merah darah di dada kirinya. Wajahnya tersembunyi di balik tudung.
Lorenzo semakin menegang. “Mengapa kalian selalu datang di saat yang paling buruk?”
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, menatap Sienna.
“Kami tidak mencari Anda, Kardinal,” katanya, “Kami menginginkan dia.”
“Saya tidak tahu siapa Anda atau apa yang Anda inginkan.”
Pria itu tersenyum, nyaris tak terlihat dalam gelap. “Oh, saya rasa Anda tahu persis, Miss Monroe.”
Sienna melangkah mundur secara refleks, dan Lorenzo segera berdiri di depannya, menjadi perisai antara dia dan pria berjubah hitam itu.
“Dia sudah terlalu jauh ikut ke dalam misteri ini,” kata pria itu lagi. “Lebih baik dia menyerahkannya sebelum semuanya menjadi lebih sulit.”
Lorenzo menggeleng. “Bukan hak kalian untuk menyembunyikannya.”
“Bukan hak kalian untuk mengungkapnya.”
Ketegangan di lorong sempit itu rasanya membuat sulit bernapas. Sienna tahu, jika mereka tidak segera bergerak, mungkin tidak akan bisa keluar dari sini dengan selamat.
Ia melirik ke belakang. Lorong ini mungkin memiliki percabangan lain. Ia hanya butuh momen yang tepat untuk melarikan diri. Lorenzo tampaknya memahami niatnya. “Jika kalian ingin dokumen itu, kalian harus melewati saya lebih dulu.”
Sienna menahan napas.
Dan dalam satu detik berikutnya, segalanya pecah menjadi kekacauan.
Gerakan pertama datang dari Lorenzo. Kardinal tua itu melakukan teknik tendangan beladiri ke arah pria berjubah hitam.
Pria berjubah hitam itu mundur selangkah, cukup bagi Sienna untuk beraksi. Tanpa pikir panjang, ia berlari melewati percabangan sempit di sisi kanan lorong, berharap menemukan jalan keluar.
“Lari!” teriak Lorenzo.
Sienna merasakan dinding batu yang lembap di ujung jarinya saat ia menyusuri lorong yang semakin gelap.
Di belakangnya, suara ribut terdengar. Sienna menoleh sekilas dan melihat Lorenzo berusaha menahan dua pria berjubah hitam yang kini muncul dari kegelapan. Salah satu dari mereka menghunuskan sebuah belati.
“Lorenzo!” Sienna hampir berhenti, tetapi tatapan pria tua itu memerintahkannya untuk terus berlari.
“Jangan biarkan mereka mendapatkan gulungan itu!”
Sienna kembali berlari sekuat tenaga.
Di depan, lorong bercabang lagi, tetapi yang menarik perhatiannya adalah sebuah pintu kayu besar di ujung koridor. Berbeda dari batu-batu tua di sekitarnya, pintu itu tampak lebih baru, seolah telah diganti dalam beberapa dekade terakhir.
Ia meraih pegangan pintu dan menariknya.
Tidak terkunci, seperti ada orang yang sudah masuk ke sini sebelum dirinya. Seketika, pintu terbuka memperlihatkan ruangan yang lebih besar dan dipenuhi rak-rak tua. Cahaya remang dari lilin-lilin di dinding (entah siapa yang menyalakannya) memperlihatkan lantai marmer dengan simbol aneh di tengahnya.
Sienna bergegas masuk dan menutup pintu di belakangnya, yang ternyata bisa dikunci dari dalam. Detik berikutnya, suara pukulan keras menghantam pintu.
Mereka sudah di sini.
Matanya liar mencari jalan keluar. Tidak ada jendela. Tidak ada pintu lain.
Lalu matanya menangkap sesuatu. Di atas meja ada sebuah kotak kayu berukir, seolah sengaja ditinggalkan di sana.
Meja kayu tempat kotak itu diletakkan. Tidak seperti furnitur lain di ruangan ini, meja itu tampak aneh. Permukaannya polos, tetapi bagian kakinya dihiasi dengan ukiran simbol-simbol kuno. Dan di bagian tengahnya, ada cekungan kecil berbentuk lingkaran dengan pola aneh di dalamnya.
Sandi itu…
Sienna merogoh tasnya mengeluarkan perkamen yang ia jaga sedari tadi. Sebelumnya, ia mengira bahwa sandi ini adalah petunjuk menuju lokasi, tetapi sekarang ia menyadari sesuatu: sandi ini adalah kunci.
Sienna bergerak cepat. Ia mempelajari simbol di cekungan meja dan membandingkannya dengan sandi di tangannya.
Ia menekan cekungan dan memutarnya searah jarum jam sebanyak tiga kali. Bunyi mekanisme tua terdengar di bawah meja.
Sienna mengikuti instruksi di sandinya, mendorong bagian tengah cekungan, lalu menariknya ke kanan.
KLIK.
Meja itu bergeser sedikit. Dengan tangan gemetar, Sienna mengambil kotak kayu itu dan membukanya.
Di dalamnya terdapat gulungan yang lebih tua dari yang ia bawa. Namun, yang membuatnya terdiam adalah tulisan di bagian atasnya. Bukan dalam bahasa Latin. Bukan dalam bahasa Yunani kuno.
Tetapi dalam bahasa Aram.
Dan di bagian bawah, tertulis satu nama.
Yesus dari Nazaret.
Sienna merasa dunia di sekelilingnya berputar.
Dokumen ini…
Jika ini asli, maka pantas saja mereka mengejarnya. Pikir Sienna.
Ia dengan hati-hati menggulung kembali dokumen itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Di luar pintu, suara ketukan semakin keras. Mereka bisa mendobraknya kapan saja.
Sienna harus berpikir cepat.
“Jangan bergerak!” Seseorang tiba-tiba keluar dari persembunyian.
Dingin menjalar ke seluruh tubuh Sienna. Ia berbalik perlahan, dan di sana, berdiri seorang pria dengan jas hitam mengarahkan pistol berperedam tepat ke dadanya.
“Kau tidak tahu apa yang sedang kau hadapi, Miss Monroe,” kata pria itu. “Letakkan tas itu dan kita bisa bicara.”
“Jika kau ingin membunuhku, kau sudah melakukannya sejak tadi.”
“Benar. Itu artinya aku lebih suka negosiasi.”
“Siapa kau?”
“Seseorang yang tidak ingin Ordo Sang Relik menang.”
“Jadi kau bukan bagian dari mereka?”
“Sebut saja aku musuh dari musuhmu. Dan saat ini, kau butuh sekutu.”
Sienna mengepalkan tangannya. Ia tidak punya banyak pilihan.
“Tapi kalau kau berkhianat, aku tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja.”
Pria itu tersenyum samar. “Mari, kita keluar dari neraka ini.”
“Siapa namamu?”
“Jonas Hale,” jawab pria itu tanpa menoleh. “Mantan intelijen Inggris.”
Jonas melirik ke langit-langit, lalu menunjuk sebuah celah ventilasi di atas. “Bisa naik?”
Sienna mengangguk, dan tanpa membuang waktu, Jonas membantu mendorongnya ke atas. Ia menarik tubuhnya ke dalam ventilasi sempit, sementara Jonas dengan cepat menyusul.
“Dia di dalam. Tutup semua akses keluar!”
Dari dalam ventilasi, mereka bisa melihat para anggota Ordo Sang Relik bergerak cepat di bawah mereka.
“Temukan dia sebelum gulungan itu meninggalkan Vatikan!”
Sienna merinding. Mereka tahu persis apa yang ia bawa.
“Kita harus keluar dari kota sebelum ketahuan mereka.” Jonas melirik perempuan 34 tahun itu.
“Dan setelah itu?”
“Kita cari tahu apa yang sebenarnya ditulis Yesus.”
Lorong ventilasi membawa mereka ke sebuah ruangan yang lebih kecil, dengan dinding batu yang tampak lebih tua dari bagian lain Vatikan. Sienna merayap keluar terlebih dahulu, diikuti Jonas.
“Kita di mana?” bisik Sienna.
Jonas menyalakan senter kecil dari jam tangannya dan mengarahkannya ke dinding. Ada simbol-simbol pahatan di sana; salib kuno, tulisan Latin, dan…
Jonas menghela napas. “Katakombe bawah tanah. Ini jalan keluar rahasia para Paus di masa lalu.”
Sienna menelan ludah. Ia pernah membaca tentang ini, tetapi kebanyakan dianggap legenda. Katakombe ini diyakini sebagai jalur pelarian yang digunakan saat serangan terhadap Vatikan terjadi berabad-abad lalu.
Pelarian mereka terus berlanjut. Di kejauhan, cahaya remang mulai terlihat. Mereka hampir sampai.
Ketika mereka melangkah keluar dari kegelapan katakombe, di hadapannya, terbentang kota Roma yang masih tertidur dalam cahaya rembulan.
Mereka berhasil keluar dari Vatikan.
“Kita harus bergerak cepat!”
Sienna menatap Jonas. “Ke mana sekarang?”
“Ke satu-satunya orang yang bisa membantu kita.”
“Siapa?”
“Seorang pria yang selama ini menghabiskan hidupnya untuk membuktikan bahwa Gereja telah berbohong.
Seorang mantan imam yang diasingkan karena menantang doktrin Gereja.”
***
Pintu kayu tua itu terbuka dengan suara berderit pelan. Di ambang pintu, seorang pria berdiri, tubuhnya tinggi dan kurus, dengan rambut putih yang tersisir rapi ke belakang. Matanya tajam meski ada kelelahan yang sulit disembunyikan.
Adalah ia Emilio Ferrara, sang mantan imam.
Jonas maju selangkah. “Kami butuh bantuan Anda.”
Tatapan Emilio jatuh ke tas kulit di tangan Sienna. Wajahnya berubah. Ia melirik ke luar sebelum memberi isyarat agar mereka masuk.
Di dalam, rak-rak tua penuh buku nyaris roboh. Kertas-kertas berserakan, aroma kopi bercampur bau tinta.
Emilio berjalan menuju perapian, menambahkan sepotong kayu sebelum berbalik menghadap mereka. “Aku sudah lama menunggu seseorang datang membawa sesuatu seperti ini.”
“Anda tahu apa yang kami temukan?”
Jonas meletakkan gulungan perkamen (yang telah mereka jaga dengan nyawa sebagai taruhannya) di atas meja.
Mata Emilio membesar begitu melihatnya. Ia mendekat, menyentuh perkamen itu seolah menyentuh relik suci. Jemarinya bergetar sedikit saat membuka gulungan itu dan membaca baris pertama dalam bahasa Aram kuno.
Hening. Hanya suara perapian.
“Demi Tuhan…”
Sienna bertukar pandang dengan Jonas.
“Ini asli, bukan?” tanya Sienna.
Emilio mengangguk, masih menatap teks di hadapannya. “Ini asli. Dan bisa mengguncang seluruh Gereja.”
Emilio menggerakkan jemarinya perlahan di atas huruf-huruf Aram kuno, seperti seorang pendeta yang sedang mendaraskan doa.
Sienna dan Jonas duduk di seberang meja, menunggu dengan napas tertahan.
Setelah beberapa menit membaca, Emilio bersandar ke kursinya. Ia menatap mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Apa yang tertulis di sana?” tanya Jonas, suaranya terdengar lebih mendesak.
“Teks ini bukan hanya sebuah catatan… Ini adalah kesaksian langsung.
“Gulungan ini adalah tulisan tangan Yesus sendiri.”
Jonas terdiam. Sienna menatap Emilio, berharap ia salah dengar.
“Tunggu… maksud Anda, Yesus sendiri yang menulis ini?”
Emilio mengangguk. “Selama ini, kita hanya memiliki Injil yang ditulis oleh para murid dan pengikutnya. Tidak pernah ada bukti bahwa Yesus sendiri mencatat ajarannya… sampai sekarang.”
Hening yang lebih berat menyelimuti ruangan.
Emilio kembali melihat gulungan itu. “Yang lebih mengejutkan… beberapa ajaran di sini berbeda dari yang diajarkan oleh Gereja saat ini.”
“Seberapa berbeda?” tanya Jonas.
“Tidak ada klaim tentang pendirian Gereja. Tidak ada penyebutan tentang institusi keagamaan yang harus dijaga atau dipertahankan. Pesannya lebih sederhana… lebih filosofis.”
Ia menunjuk salah satu baris dalam teks itu dan membaca pelan:
“Jangan mencari Kerajaan Tuhan di atas batu dan menara, sebab ia ada dalam hatimu. Ia bukan milik imam atau raja, tetapi setiap manusia yang mengasihi tanpa syarat.”
Sienna merinding.
Jonas mengusap wajahnya. “Jadi, ini tentang hubungan langsung antara manusia dan Tuhan?”
Emilio mengangguk. “Dan jika ini benar, maka semua struktur Gereja yang selama ini kita kenal… bisa runtuh.
Sienna meremas kepalanya. “Jadi apa yang akan kita lakukan?”
“Kita telah sejauh ini untuk mencari kebenaran. Tapi sekarang kita harus bertanya… apakah dunia siap untuk menerimanya?” kata Jonas ragu-ragu.
Emilio menatap gulungan itu, lalu dengan hati-hati menggulungnya kembali. “Saya bisa menyembunyikannya. Menjaganya tetap aman. Jika suatu hari dunia siap, mungkin kebenaran ini bisa diungkap.”
Sienna menatap gulungan itu untuk terakhir kalinya. Dalam hatinya, ia menyadari bahwa terkadang, demi kebaikan banyak orang, adakalanya kebenaran tak selalu harus diungkapkan.
Emilio memasukkannya ke peti kayu, menguncinya.
Matahari mulai terbenam di balik perbukitan Toskana. Dunia tetap berjalan seperti biasa, tanpa mengetahui bahwa di dalam rumah kecil itu, sebuah kebenaran besar baru saja diputuskan untuk tetap menjadi rahasia.
Untuk sekarang. []
Purbaratu, 19 Februari 2025
The Vatican Cipher
-
Orisinalitas
-
Peran Arahan
-
Alur Cerita
-
Gaya Bahasa
-
Penulisan