Demi cacing dan tikus yang ia bunuh, seharusnya Ndat tidak pergi. Biarkan saja kampungnya lebur di dalam gelap yang sudah berlangsung empat puluh hari. Namun, kegelapan itu tak hanya menghitamkan pandangan, melainkan juga memulas hati para penduduk. Mereka terus merintih, memperdengarkan keluh kesah yang menjerikan hati. Ndat tidak kuat dan merasa harus berkorban, keluar dari kampungnya dan mencari pertolongan.
Ndat juga begitu pada awalnya. Ketika matanya mulai terkikis, ia meringis. Pedihnya bukan kepalang, rasanya seakan-akan dibaluri sekantong cabai matang. Kebutaan masal itu diawali dengan kabut hitam yang turun dari langit di pagi hari. Ndat mengira akan turun hujan lebat. Namun, kian pekat kabut itu, kian lenyap kemampuannya melihat, hanya dinding hitam yang mengambang dalam pandangannya.
Bedanya, Ndat tidak hanya terus meringis, ia cepat membiasakan diri dan melawan perih di matanya. Kemudian ia menajamkan pendengarannya. Lalu, mulai bergerak dengan meraba-raba benda-benda yang dilewatinya. Setelah terbiasa, barulah ia bisa mengenali semua ruangan, terutama dapur, bahkan memasak dan dapat menyiapkan makanan. Ia bimbing pula ibu bapaknya agar bisa makan, sehingga mereka mengira Ndat sudah sembuh dari penyakit kabut.
Menurut sang Bapak, kabut seperti itu pernah terjadi pada masa buyut Ndat masih muda, lima puluh tahun lalu.
“Buyutmu keluar kampung, menuju seribu gunung, mencari benih Pohon Kehidupan yang daun-daunnya bisa menyerap kabut. Pohon itu ia tanam di bukit Duri sana, di atas kampung, yang seminggu sebelum kabut ini datang digergaji orang. Orang-orang tidak tahu cerita itu, Ndat, dan sengaja tidak diberi tahu bahwa pohon itulah yang menyelamatkan mereka.”
“Kenapa? Kalau mereka tahu, mungkin mereka tidak akan menebangnya, Pak.”
“Apa mereka akan percaya?” tanya Bapaknya retoris, lalu melanjutkan ucapannya. “Lagi pula hati para penduduk itu cetek, Ndat, mudah goyah, bisa-bisa pohon itu mereka jadikan dewa. Buyutmu tidak mau kotoran dari kuku dewa dianggap sebagai wajah dewa itu sendiri.”
“Pohon Kehidupan itu hanya kotoran kuku dewa?”
“Katanya begitu. Mungkin itu perumpamaan.” Bapak Ndat berkata dengan nada lemah, lalu mengulangi lagi perkataannya, “Buyutmu menceritakannya seperti itu.”
Ndat mengangguk-angguk. Memang seminggu setelah penebangan bukitlah kabut hitam itu datang, berbondong-bondong lalu berbaris di atas kampung seperti pasukan penjajah sebelum menyerang.
“Seperti apa benih Pohon Kehidupan itu, Pak?”
“Kata buyutmu, ia langsung tahu begitu di dekatnya. Tahu begitu saja.”
Ndak mengangguk-angguk. Lolongan para tetangganya kembali terdengar. Setelah mengajari Ibu mengenali rumah dan bagaimana memasak dalam kegelapan selama seminggu barulah Ndat berangkat. Ia hanya membawa tongkat.
“Ke arah mana saya harus menuju, Pak?” tanya Ndat di ambang pintu.
“Lurus saja. Setelah keluar dari pintu rumah, lurus saja sampai matamu bisa melihat lagi.”
Ndat tidak yakin. Ia ingat di depan rumahnya itu ada rumah tetangganya. Namun, ia menurut saja. Betapa terkesimanya Ndat ketika mengetahui bahwa tidak ada apa pun yang menghalangi langkahnya.
Setelah lama berjalan Ndat mendengar seseorang memanggilnya. Ia berhenti.
“Siapa?”
“Aku pemandumu. Kau mau mencari Pohon Kehidupan, kan?”
Ndat tidak percaya. Bapaknya tidak menceritakan tentang pemandu. Ia mengabaikan suara itu dan terus berjalan.
“Belok kanan. Kau akan tersesat kalau lurus begitu.”
Ndat tidak memedulikannya meskipun suara itu terus mengganggu. Sampai kemudian, kemampuannya melihat pulih sedikit demi sedikit. Dari gelap menuju cahaya samar, lalu samar pun hilang dan menjadi jelas.
Ia mendapati dirinya di tepi jurang. Jurang itu gelap dan dalam, sementara di hadapannya terdapat gunung-gunung yang melayang. Ndat menoleh ke belakang, ke tempatnya datang, tetapi tidak ada apa pun selain pohon-pohon yang rindang menjulang.
Ndat berpikir bahwa ia telah sampai. Seribu gunung yang dimaksud Bapaknya itu mungkin gunung-gunung yang melayang di depan sana.
Bagaimana aku ke atas sana? pikir Ndat.
Saat itulah suara yang mengikutinya sepanjang jalan kembali terdengar.
“Kenapa kau berhenti? Harta karunnya bukan di sini.”
Ndat menoleh ke belakang. Ia terkejut melihat capung sebesar sapi.
“Aku bukan mencari harta karun.”
“Yang kau cari itu harta karun. Yang ingin kau tahu itu harta karun. Yang ingin kau bawa itu harta karun. Bocah bodoh.”
“Kau berisik sekali capung sapi.”
“Capung sapi? Aku ini peri!”
Ndat terkekeh. Ia mencoba menjadi akrab. Ia sadar dirinya tidak bisa terbang dan ia harus menunggangi si capung.
“Kau kuat?”
“Pertanyaan apa itu? Tentu saja.”
“Kalau begitu kau pasti bisa membawaku ke atas gunung-gunung itu, kan?”
“Hu-hu. Kau mau mengelabuiku, ya?” Si Capung tertawa-tawa.
Ndat meringis. Ia merasa malu dan bodoh.
“Kau harus bersyukur. Aku memang ditugaskan untuk membantumu.”
“Termasuk mencoba menyesatkanku?”
“Hu-hu. Aku hanya mengujimu. Ayo cepat naik!”
Punggung Capung itu sekeras tembok. Ndat sudah mengujinya dengan memukul-mukulnya dan membuat si Capung kesal. Namun, meskipun demikian capung itu membawa Ndat ke gunung melayang pertama.
Di gunung itu Ndat mendengar suara lagi. Si Capung mengatakan bahwa itulah suara entitas yang menugaskannya. Yang mengejutkan Ndat, suara itu menyuruhnya menjadi raja cacing dan dengan perintah itu Ndat berubah menjadi cacing besar yang menyelam ke dalam tanah, membunuh cacing-cacing lainnya.
Ndat lalu terbang ke gunung kedua. Di sana ia diperintahkan menjadi raja ulat. Lalu, di gunung ketiga ia menjadi raja tikus. Begitulah Ndat diubah-ubah bentuknya menjadi berbagai jenis hewan, meskipun kesadarannya sebagai manusia tetap terjaga. Di gunung ke-999, Ndat menjadi raja singa.
Akan tetapi, waktu di gunung keseribu Ndat hampir gagal. Ia menolak menjadi raja capung sebab harus membunuh si Peri Capung yang selama itu membantunya terbang dari gunung ke gunung.
“Sudahlah,” kata si Capung. “Aku tetap akan memakanmu walaupun kau tak mau memakanku.”
“Aku heran, bukankah hewan-hewan itu tidak pernah memakan temannya dan hanya memakan mangsanya saja? Kenapa setiap aku berubah menjadi hewan tertentu hasratku tidak berubah menjadi hasrat hewan itu?”
“Ck, kau manusia, menjadi hewan. Meskipun rupamu adalah cacing atau apa pun, tapi keserakahanmu tetaplah keserakahan seorang manusia. Ayo lawan aku manusia capung!”
Awalnya Ndat pasrah saja. Ia membiarkan dirinya diserang si capung. Namun, ketika si Capung mengingatkan tujuan Ndat ke gunung seribu untuk mencari harta karun, benih Pohon Kehidupan, demi membebaskan penduduk kampung, barulah ia bangkit melawan. Ndat fokus pada kekesalannya saat si Capung berusaha menyesatkannya, dengan hanya fokus ke momen itu, Ndat tidak terlalu merasa bersalah ketika ia mengoyak tubuh si Capung.
“Begitulah seharusnya, Ndat!” kata si Capung sebelum kematiannya, yang ia dengar seperti suara bapaknya. Ndat menangis tujuh hari tujuh malam.
Setelah tujuh hari, suara entitas itu kembali terdengar. Ia mengatakan bahwa Ndat sudah bisa menolong penduduk kampung dengan menjadi Pohon Kehidupan.
Ndat terkesiap. “Bukankah aku hanya harus membawa benih Pohon Kehidupan?”
“Kata siapa? Pohon Kehidupan itu adalah manusia yang sudah menjadi seribu muka sepertimu,” kata entitas itu.
“Tapi kata Bapakku bukan seperti itu.”
Entitas itu tertawa terbahak-bahak. “Kau yakin yang berkata itu bapakmu? Dari mana kau tahu itu bapakmu? Bukankah kau tidak bisa melihat apa-apa di kampung sana?”
Ndat mematung. Ia pun menjadi ragu. Lalu, terdengar entitas itu berkata, “Tidak akan ada yang tahu kau berkorban. Kau tidak akan dilupakan oleh penduduk kampung, sebab mereka pun tidak akan ingat siapa kamu. Kau sudah siap dilupakan, Manusia Sesat?”
Curugkembar, 25 Februari 2025.
Tiada Lagi Kabut di Kampung Ndat
-
Orisinalitas
-
Peran Arahan
-
Alur Cerita
-
Gaya Bahasa
-
Penulisan