Langkahnya gegas seolah tak ada keraguan sama sekali ketika menyusuri lantai-lantai rumahnya. Sepatu heels-nya menghentak menimbulkan suara yang khas. Tatapannya lurus ke depan seakan siap menabrak apapun yang menghalanginya. Rambutnya yang terikat tak bebas bergerak menggambarkan perasaannya. Ia berhenti di salah satu kamar. Tangannya memutar tuas pintu, lalu matanya memindai. Remang dan sepi.
Ruangan kamar itu berukuran 3×3 meter persegi dengan dinding berwarna abu-abu yang sudah lusuh termakan waktu. Di sisi kanannya terdapat ranjang dengan kasur empuk yang telah ribuan kali menjadi saksi tangisnya juga tawa depresinya. Ada dua pigura besar yang menghiasi dinding kamar itu. Satu pigura berisi foto anak perempuan ketika masih bayi, dan satunya lagi adalah foto dirinya saat menjadi pengantin dulu. Dan di samping jendela yang sejak lama tak pernah dibuka, ada lemari kaca berukuran besar yang dipenuhi oleh ratusan arloji.
Ia duduk di depan lemari hias miliknya yang berada tepat di samping ranjangnya. Tangannya merogoh sesuatu di dalam tas. Arloji lagi. Ya, ia baru saja membelinya dari toko langganan. Mode terbaru kata pemilik toko. Sebetulnya wanita itu tak pernah mempermasalahkan mode baru atau lama. Baginya membeli arloji baru artinya sama saja memberi makan jiwanya yang lapar.
Tak ada yang benar-benar tahu, bahkan suaminya, mengapa ia begitu terobsesi mengoleksi arloji. Sejak dua tahun yang lalu, ia benar-benar keranjingan membeli arloji dengan berbagai merk dan warna. Memiliki banyak arloji sama halnya seperti mengumpulkan harta karun. Tak peduli seberapa murah atau mahal harganya, selama dia menyukainya pastilah benda itu berhasil dibawanya pulang; dirusak dengan cara yang mengenaskan.
Arloji baru itu kini berada di atas telapak tangannya. Warnanya yang putih perak memantulkan cahaya bak kristal di matanya. Tidak. Bola-bola kristal itu memang sejak tadi sudah ada. Lalu, perlahan bola-bola itu meluncur bebas di pipinya. Ia tampak menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Pandangannya beralih, wanita itu menatap iba pada bayangan dirinya di kaca yang begitu terlihat menyedihkan. Sama seperti dulu ketika untuk pertama kali melihat arloji pintar milik suaminya itu menyimpan rahasia yang membuatnya hatinya sakit, hancur tak berbentuk lagi.
Ia mengambil pisau kecil di dalam tasnya. Dengan cepat pisau itu berhasil membuat sekrup pada arloji itu mengendur nyaris lepas. Lalu, kedua jarinya menjepit sekrup itu dan memutarnya berlainan arah.
Ia memutar, memutar, dan terus saja memutar sekrup arloji itu dengan berapi-api sampai rusak. Jari-jarinya yang telah memerah mengeluarkan darah. Ia tak membiarkan tangannya berhenti sampai benar-benar yakin arlojinya tak bisa berfungsi lagi. Semua arloji di lemari itu mengalami nasib yang sama. Andai mereka bisa bicara, mungkin saja para arloji itu mengemis agar tak dibelinya. Lagipula hanya kehancuranlah yang akhirnya menanti benda-benda itu.
Tangannya berhenti, saat dilihatnya arloji itu tak mengeluarkan suara berdetak lagi. Setelah memastikan jarum arloji itu tak lagi berputar, wanita itu kemudian menaruhnya di lemari bercampur dengan arloji-arloji yang lain, yang bernasib sama.
Ratusan arloji itu mangkrak begitu saja dalam lemari. Memohon untuk diperbaiki pun sepertinya percuma. Wanita itu begitu terlihat jahat memperlakukan arloji-arloji itu. Bahkan ia terlihat seperti manusia yang tak memiliki hati.
Ingatannya kembali ke dua tahun silam. Beberapa hari sebelum bayinya meninggal, ia menemukan rahasia di arloji pintar milik suaminya. Sejak saat itu, ia sering mengurung diri di kamar, bahkan tak lagi mau menyusui bayinya. Tangis nestapa bayi itu tak digubrisnya. Lalu, pertengkaran hebat terjadi antara ia dan suaminya. Lelaki yang sudah tiga tahun menikahinya itu memukulnya ketika melihat bayinya akhirnya dalam kondisi kritis.
Gila? Ia sendiri sebenarnya tak setuju dengan sematan yang ditujukan untuknya itu. Namun, bagaimana ia bisa membungkam prasangka suaminya itu terhadapnya. Sementara yang ia lakukan memang persis layaknya manusia yang jiwanya kesakitan.
“Berhenti melakukan itu wahai perempuan gila! Aku muak dengan tingkahmu!” teriak suaminya ketika suatu hari, setelah bayinya meninggal, mendapati ia merusak puluhan arloji dalam sehari.
Suaminya bahkan sempat bersujud memohon agar ia tak melakukan itu lagi. Namun, ucapan lelaki itu tak membuatnya berhenti. Ia terus saja merusak arloji-arloji hingga jarinya berdarah-darah.
“Aku tak bisa lagi melihatmu seperti ini. Mari kita berpisah!”
Ia menatap lekat suaminya. Dipandanginya wajah yang dahulu meneduhkan. Namun, kali ini terasa seperti ancaman. Bahkan bayangan wanita lain tiba-tiba muncul di bola mata suaminya. Ia menggeleng, mencoba menepis, tapi bayangan itu semakin nyata. Lalu dengan kesadaran penuh, ia menampar lelaki di hadapannya.
Ia meraung, membanting semua arlojinya ketika melihat suaminya benar-benar pergi dari rumah membawa serta baju-baju miliknya. Meski kecewa, wanita itu tak dapat mencegah sebab sudah tahu alasannya. Menganggapnya gila adalah bentuk alibi agar lelaki itu dengan mudah meninggalkannya. Tanpa lelaki itu tahu, ia hampir saja menghabisi nyawanya dengan menyentuh aliran listrik. Beruntung, kala itu tiba-tiba listrik padam. Ia pun berpikir bahwa Tuhan sengaja menyelamatkan karena belum waktunya. Bisa jadi Tuhan masih menghendaki ia melakukan kegilaan lagi. Mungkin lebih gila dari ini.
Sejak saat itu ia tak lagi memikirkan anggapan suaminya itu terhadapnya. Bahkan kepergian lelaki itu pun tak disesalinya lagi. Ia terus mengoleksi arloji sesuai keinginannya. Wanita itu berharap dengan membeli lalu merusaknya, segala kenangan-kenangan yang tak mengenakkan itu pun bisa segera terhenti dan lenyap dari hidupnya.
Ia beranjak dan berdiri di sisi jendela setelah meletakkan arloji ke dalam lemari. Tangannya memegangi nako yang sudah berkarat sebab terlalu lama tak dirawat. Tampak jari-jari tangannya yang penuh darah, terasa begitu perih. Dari balik kaca jendela, ia bisa melihat hujan yang mulai turun, jalanan yang lengang, juga pantulan wajahnya yang muram.
Setelah membersihkan jari tangannya, ia kemudian duduk di sisi ranjang. Melepas hells-nya dan melempar ke sembarang tempat. Ia lantas merebahkan raganya di kasur sembari menarik selimut dan menutup tubuhnya. Matanya menatap dua pigura yang bersisian.
“Aku sudah banyak merusak waktu agar segera bertemu denganmu. Tak bisakah kau meminta Tuhan agar mempercepat waktuku? Supaya kita segera bersama-sama lagi, Sayang,” ucapnya lirih.
Tatapannya nanar melihat pigura foto bayi dan foto pengantin itu secara bergantian. Hatinya begitu sakit seiring air matanya yang terus tumpah.
Malam merayap lambat. Suara desau angin bercampur tetes hujan menyatu menjelma bak kidung yang menciptakan kantuk. Namun ia baru setengah terlelap, suara dering ponsel memaksanya untuk terjaga kembali.
“Bu Anita! Pak Reno ditemukan meninggal di dalam kamar kost-nya. Ada luka tusukan di perut dan lehernya, Bu. Sepertinya dia dibunuh, Bu! ” suara setengah menjerit di sambungan telepon itu berhasil membuatnya menutup mulut.
“Apa yang terjadi dengannya?! Oke, saya segera kesana, Bu. Terima kasih sudah menghubungiku.” Ia mematikan sambungan teleponnya dan langsung menyambar tasnya, lalu pergi.
Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kenangan-kenangan bersama suaminya melintas-lintas di otaknya sehingga membuatnya kembali menangis tersedu-sedu. Hujan membuat jalanan yang sepi tampak basah seperti pipinya. Ketika melewati sebuah jembatan dengan arus sungai yang deras, ia menghentikan mobilnya. Lalu, wanita itu keluar dan melemparkan tasnya begitu saja.
Lampung, 15 Februari 2025
Wanita Pengoleksi Arloji
-
Orisinalitas
-
Peran Arahan
-
Alur Cerita
-
Gaya Bahasa
-
Penulisan